Minggu, 12 Mei 2013

Hak Bertetangga

Diantara bukti bahwa islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, Islam mengajarkan kepada umat manusia untuk berbuat baik kepada sesama, terutama kepada orang yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Diantaranya tetangga. Hubungan tetangga menjadi penting, karena tetangga memiliki hak yang lebih dibandingkan lainnya. Tidak heran jika ada beberapa ulama yang menulis buku khusus membahas tentang tetangga, seperti Imam Al-Humaidi (w. 219 H) dan Abu Nuaim Al-Asbahani (w. 430 H), yang menulis satu kumpulan hadis khusus tentang tetangga, kemudian Ad-Dzahabi (w. 748 H), beliau memiliki buku khusus berjudul Haqqul Jiwar (Hak bertetangga), dan buku ini sudah diterbitkan. 

Hak bertetangga dalam Al-Quran
Allah berpesan dalam Al-Quran (yang artinya), ”Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, rekan di perjalanan, Ibnu Sabil, dan kepada budak yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan apa yang dia miliki” (QS. An-Nisa : 36).

Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Oleh karena itu, bersikap baik kepada tetangga adalah satu hal yang diperintahkan dan ditekankan, baik dia muslim maupun kafir, dan itulah pendapat yang benar” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/184)

Cakupan Kata Tetangga
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Kata tetangga mencakup muslim maupun kafir, ahli ibadah maupun ahli maksiat, teman dekat maupun musuh, pendatang maupun penduduk asli, yang suka membantu maupun yang suka merepotkan, yang dekat maupun yang jauh, yang rumahnya berhadapan maupun yang yang bersingkuran… Dan masing-masing disikapi dengan baik sesuai keadaannya” (Fat-hul Baari, 10/441). 

Batasan Jumlah Tetangga
Ulama berbeda pendapat tentang batasan tetangga.
Pertama, semua orang yang tinggal satu kampung bersamanya.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah di surat Al-Ahzab (yang artinya), “Jika orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) tidak menghentikan aksinya, niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar” (QS. Al-Ahzab: 60).
Pada ayat ini Allah menyebut semua penghuni Madinah sebagai tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, semua orang yang menempati 40 rumah dari semua penjuru arah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar membawakan keterangan dari ’Aisyah, batasan tetangga adalah 40 rumah dari segala penjuru, demikian pula pendapat dari Al-Auza’i. Ibnu Hajar juga membawakan riwayat lain, ”Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, “Tetangga adalah 40 rumah, ke kanan, kiri, belakang dan depan. (Fat-hul Baari, 10/447).

Hadits-hadits tentang bertetangga
1. Larangan keras mengganggu tetangga
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (HR. Bukhari 6016 & Muslim 46).

2. Wasiat Jibril untuk memperhatikan tetangga
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan, “Jibril selalu berpesan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengira tetangga akan ditetapkan menjadi ahli warisnya” (HR. Bukhari 6014 & Muslim 2624).

3. Menumbuhkan semangat berbagi dengan tetangga
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah), mewasiatkan kepadaku,”Apabila kamu memasak, perbanyaklah kuahnya. Kemudian perhatian penghuni rumah tetanggamu, dan berikan sebagian masakan itu kepada mereka dengan baik” (HR. Muslim)

4. Tidak mengganggu tetangga bagian dari iman
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia mengganggu saudaranya” (HR. Bukhari 5185 & Muslim 47)

5. Menyakiti tetangga lebih besar dosanya
Dari Miqdad bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang yang berzina dengan 10 wanita, dosanya lebih ringan dibandingkan dia berzina dengan satu orang istri tetangganya… seseorang yang mencuri 10 rumah, dosanya lebih ringan dibandingkan dia mencuri satu rumah tetangganya” (HR. Ahmad 23854 dan dinyatakan Syu’aib Al-Arnauth sanadnya bagus)

masih ada beberapa hadits lagi terkait hubungan dengan tetangga.. selengkapnya kunjungi link berikut ini ya.. http://buletin.muslim.or.id/akhlaq/hak-bertetangga

Selasa, 07 Mei 2013

Web Site Para Ustadz

Berikut adalah link web site ustadz yang insyaAlloh bisa menjadi rujukan.

  1. Ustadz-Ustadz Universitas Islam Madinah (http://serambimadinah.com/)
  2. Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA (http://dzikra.com)
  3. Ustadz Abdullah Taslim, MA (http://manisnyaiman.com)
  4. Ustadz Firanda Andirja, MA. (http://firanda.com/)
  5. Ustadz Abdullah Zaen, MA (http://tunasilmu.com)
  6. Ustadz Abdullah Roy, MA. (http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/)
  7. Ustadz Aris Munandar, MA (http://ustadzaris.com/) [Guru favourit dalam belajar Islam]
  8. Ustadz Muhammad Wasitho, MA (http://www.abufawaz.wordpress.com/)
  9. Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc. (http://cintasunnah.com)
  10. Ustadz Abu Hudzaifah, Lc. (http://basweidan.wordpress.com/)
  11. Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc [Dammam - KSA] (http://www.dakwahsunnah.com/)
  12. Ustadz Zainal Abidin, Lc. (http://www.zainalabidin.org/)
  13. Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. (http://www.ustadzkholid.com/)
  14. Ustadz Ahmad Faiz Asifuddin, Lc (http://ustadzfaiz.com)
  15. Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc. (http://addariny.wordpress.com/)
  16. Ustadz Abu Zubair, Lc. (http://abuzubair.net/)
  17. Ustadz Ahmad Sabiq, Lc (http://ahmadsabiq.com/)
  18. Ustadz Sa’id Yai Ardiyansyah, Lc. (http://kajiansaid.wordpress.com/)
  19. Ustadz Abu Ihsan Al Atsari (http://abuihsan.com/)
  20. Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami (http://kajianislam.net)
  21. Ustadz Fariq Gasim (http://fariqgasimanuz.wordpress.com)
  22. Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi (http://abiubaidah.com/)
  23. Ustadz Muslim Al Atsari (http://ustadzmuslim.com)
  24. Ustadz Marwan Abu Dihyah (http://abu0dihyah.wordpress.com)
  25. Ustadz Abu Ali, ST.,MEng.,Phd. (http://noorakhmad.blogspot.com/)
  26. Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi, SSi. (http://abumushlih.com/)
  27. Ustadz Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST (http://ikhwanmuslim.com)
  28. Ustadz Abul Jauzaa (http://abul-jauzaa.blogspot.com)
  29. Ustadz Abu Salma (http://abusalma.wordpress.com/)
  30. Ustadz Yulian Purnama (http://kangaswad.wordpress.com)
  31. Ustadz dr. Muhaimin Ashuri (http://attaubah.com)
  32. Ustadz Didik Suyadi (http://abukarimah.wordpress.com)
  33. Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa (http://sabilulilmi.wordpress.com) [Sahabat dekat kami dalam tholabul 'ilmi di Riyadh]
  34. Ustadz Dzulqarnain (http://dzulqarnain.net) [Ustadz favorit kami di Indonesia dan ingin seperti beliau]
  35. Ustadz Abdul Malik, sopir pribadi Syaikh Sholih Al Fauzan (http://abdoelmalik.com)
Semoga bermanfaat.

Tips Menjadi Mulia dan Terhormat

Ceramah Singkat oleh Ustadz Abuz Zubair Hawaary, Lc

http://www.youtube.com/watch?v=wjepvjtS-pM&list=PLUuYlj8dcEXaJqn6evXkV5bx7TyxIJMLM

Semoga bermanfaat

Wali Telanjang

Ceramah Singkat oleh Ustadz  Abdullah Zaen, MA

http://www.youtube.com/watch?v=HSc0gSnZGxE&list=PLUuYlj8dcEXaJqn6evXkV5bx7TyxIJMLM&feature=player_embedded#action=share

Semoga bermanfaat

Senin, 06 Mei 2013

Ibnu Jarir Ath Thobari: Ambisi Besar Saat Ini Telah Mati

Ibnu Jarir Ath Thobari (Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kholid Ath Thobari) adalah ulama besar yang bisa jadi teladan dalam semangat untuk kita. Beliau adalah pemilik kitab tafsir yang berjilid-jilid. Sampai disebutkan totalnya berjumlah 3000 lembaran ketika beliau menulisnya, itu pun dikatakan sebagai ringkasan. Beliau juga memiliki kitab tarikh (sejarah) yang begitu masyhur. Beliau adalah imam dalam berbagai bidang ilmu seperti tafsir, hadits, fikih, dan tarikh. Kisah beliau berikut menunjukkan bagaimana beliau memiliki semangat yang tinggi dalam menulis, mengkaji Islam dan membuat karya besar. Semangat beliau ini sulit kita temukan pada zaman-zaman kita ini.

Al Khotib Al Baghdadi dalam kitab tarikhnya berkata, “Aku pernah mendengar ‘Ali bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdul Ghoffar Al Lughowi (lebih terkenal dengan sebutan As Samsamani), ia menceritakan bahwa Muhammad bin Jarir Ath Thobari pernah menetap selama 40 tahun dan menulis setiap harinya 40 halaman.

Dan telah sampai kisah kepadaku dari Abu Hamid Ahmad bin Abi Thohir Al Faqih Al Isfaroini, ia bekata, “Seandainya seseorang bersafar ke China lantas ia menemukan kitab tafsir karya Ibnu Jarir, maka ia akan temukan tidak begitu banyak (dari kenyataan, pen).” Atau beliau mengucapkan perkataan semakna dengan itu.

Al Qodhi Abu ‘Abdillah Muhammad, ia berkata bahwa ‘Ali bin Ahmad Ash Shona’ Ubaidullah bin Ahmad As Samsar dan ayahku berkata bahwa Abu Ja’far Ath Thobari pernah berkata pada murid-muridnya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis tafsir Al Qur’an?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Jawab Ath Thobari, “Tiga puluh ribu (30.000) lembar.”  Mereka malah menjawab,
هذا مما تفنى الاعمار
“Menulis seperti itu malah menghabiskan umur kami.” Akhirnya kitab tersebut selesai dan lebih diringkas yang akhirnya menjadi sekitar 3000 lembaran.
Ath Thobari berkata lagi pada murid-muridnya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis kitab tarikh (sejarah) alam semesta mulai dari Adam hinggga saat ini?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Ath Thobari menyebut sebagaimana kitab tafsir tadi, lalu mereka pun menjawab semisal itu. Lantas Ibnu Jarir Ath Thobari berkata,
انا لله ماتت الهمم
Inna lillah … Semangat (ambisi) manusia saat ini telah mati.” (Tarikh Baghdad karya Al Khottib Al Baghdadi, 2: 163)

Memang benar kata beliau, ambisi besar untuk menghasilkan karya spektakuler yang bermanfaat bagi Islam untuk saat ini telah tiada. Hanya segelintir saja yang barangkali punya ambisi atau himmah besar dalam menuntut ilmu, amalan dan dakwah. Uswah atau teladan dari ulama terdahulu seperti ini yang patut kita ikuti.

Ya Allah, karuniakanlah pada kami himmah (ambisi) yang besar dalam ilmu, amal, dan dakwah serta dalam karya besar yang bisa bermanfaat untuk umat Islam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ KSU, Riyadh, KSA, 15 Rajab 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Minggu, 05 Mei 2013

Shalat Sunnah Fajar

(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (08-09)/Tahun VIII)

Pertanyaan : Apakah shalat sunnah rawatib qabliyah Subuh sama dengan shalat sunnah fajar?
Dari: Mohammad Dedi Kec. Cipocok Jaya, Kab. Serang, Banten

Jawaban : Ya, sama. Rawatib adalah bentuk jama’ dari ratibah. Artinya, tetap, terus-menerus. Qabliyah, artinya sebelum. Shalat sunnah rawatib qabliyah Subuh, merupakan istilah para ulama. Artinya, shalat sunnah yang tetap yang dilakukan sebelum Subuh. Karena shalat ini dilakukan pada waktu fajar, yaitu setelah adzan Subuh dan sebelum iqamat Subuh, maka dinamakan shalat sunnah fajar. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun di dalam hadits-hadits, shalat ini disebut dengan rak’atal fajr (dua raka’at waktu fajar, sebelum Subuh), sebagaimana disebutkan hadits-hadits di bawah ini: 

‘Aisyah radhiyallâhu'anha berkata:
 hadist

Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjaga sesuatu dari shalat-shalat sunnah lebih daripada penjagaan Beliau terhadap rak’atal fajr (dua raka’at waktu fajar). (HR Bukhari, no. 1163)


Dari ‘Aisyah, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
  رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْـــرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Rak’atal fajr (dua raka’at waktu fajar), lebih baik daripada dunia dan segala yang ada padanya”.
(HR Muslim, no. 725)


Read

Bismillah...

Politely-spoken, polite, attentive, thoughtful and insightful. At least that he was minded to position entailed. Typical of many people who I've met, it turns out the majority of people who are often insightful and full of wisdom like reading a book.

I also feel the effects of which are so great on my personality when I continue reading the book. Reading will add insight to broaden our perspective of a thing. In effect, we are able to think and solve problems with more calm and unhurried take decisions because we already know the good and bad effects on every decision that we take.

So many benefits of reading, but it certainly can not be obtained by any reading. Read the book that it's useful any kind and certainly the book that the content does not violate the norms of law. It was like water, when he was given a prayer and remarks that both the per molecule will be beautiful and good so beneficial to the drinker.

Conversely, when water is mentioned him a bad word, it also looks bad molecules and adversely affect the drinker.

So read and be prepared to be one who is getting wise and beneficial to others. :-)

Rabu, 01 Mei 2013

Mendidik Generasi Rabbani

At Tauhid edisi VII/16, Diposting 21 April 2011

Oleh: Ammi Nur Ba’its 

Semua masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan adalah generasi rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu sendiri. Karena semua sadar, bahwa label ‘rabbani’ menggambarkan generasi emas umat islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini?… 

Pengertian istilah “Rabbani” 
Dalam banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk kepemudaan, tidak lepas dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan masyarakat, mereka yang mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan ‘mentah-mentah’, tanpa peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’ semacam ini tidak selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak menimbulkan kesalah-pahaman terhadap inti informasi yang disampaikan. Berikut adalah keterangan para ulama tentang istilah ‘rabbani’, yang kami sarikan dari kitab Zaadul Masir fi Ilmi at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi (1/298): 

Ditinjau dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun. 

Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu). Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Antara Ilmu dan Seorang ‘Rabbani’
Dari semua keterangan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama yang menjelaskan tentang pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label ‘rabbani’ hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat berikut:

Pertama, berilmu dan memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
Kedua, mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya.
Ketiga, mengajarkannya kepada masyarakat.
Sebagian ulama menambahkan sifat keempat, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena sahabat merupakan standar kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kurang dari salah satu diantara sifat di atas, tidak dapat disebut seorang rabbani. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ketika ditanya tentang makna ‘rabbani’, beliau mengatakan: Apabila seseorang itu berilmu, mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang rabbani. Namun jika kurang salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak menyebutnya sebagai seorang rabbani. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124).

Antara Ilmu dan Ibadah
Inti jawaban, mengapa seseorang itu layak dinamakan rabbani adalah karena dia telah melakukan amalan yang sangat mendekatkan dirinya kepada Ar-Rabb (Allah), sebagaimana pengertian ‘rabbani’ dari tinjauan bahasa. Karena itu, dari keterangan para ulama di atas, akan muncul satu pertanyaan, apa kaitan antara pengertian ulama tentang istilah ‘rabbani’ dengan makna kata ini secara bahasa. Atau dengan kata lain, apa kaitan antara ilmu, yang menjadi syarat mutlak seorang rabbani dengan ibadah kepada Allah?

Dijelaskan oleh Ibnul Anbari, keterkaitannya karena ilmu merupakan bentuk ibadah kepada Allah ta’ala. Disamping itu, seseorang hanya akan bisa melakukan ibadah kepada Allah, jika dia memahami tata cara ibadah yang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sehingga kata kunci dalam masalah ini adalah ‘ilmu’ (Zaadul Masir, 1/298). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zuhri – salah seorang ulama tabi’in –: Tidak ada satu bentuk peribadatan kepada Allah yang lebih mulia dibandingkan ilmu. (Hilyah al-Auliya, 2/61). Demikian juga dikatakan oleh Imam Ahmad: Mencari ilmu merupakan amalan yang paling mulia, bagi siapa saja yang niatnya benar. (Syarh Muntaha al-Iradat, 2/26). Hal yang semisal juga dikatakan Abdullah bin Mubarak, Saya tidak mengetahui ada sesuatu yang lebih mulia setelah nubuwah (kenabian) melebihi kegiatan menyebarkan ilmu. (Mausu’ah ad-Din an-Nashihah, 1/301)

Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk...
untuk membaca lebih lanjut, klik link berikut.. semoga bermanfaat :)
http://buletin.muslim.or.id/keluarga/mendidik-generasi-rabbani