Rabu, 30 Oktober 2013

Peci-Mukena Menutupi Dahi Ketika Sujud Saat Shalat

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Pak Ustadz mohon penjelasan tentang cara sujud:
Saya pernah mendengar bahwa kalau sedang sujud, tidak boleh adayang menghalangi kening (jidat) dengan tempat sujud. Bagaimana kalau yang menghalangi tersebut adalah rambut, kopiah (topi), atau mukena (bagi wanita)?

Demikian dan terima kasih atas penjelasannya.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabaraakatuhu.
Dari: Bestalman
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Wa alaikumus salam wa rahmatullaahi wa baraakatuh,
Ulama berselisih pendapat tentang hukum sujud dengan menempelkan tujuh anggota sujud secara langsung di lantai atau alas sujud.
Pendapat pertama, wajib meletakkan tujuh anggota sujud secara langsung di lantai atau alas sujud (sajadah), dan tidak boleh menutupi anggota sujud dengan pakaian yang digunakan. Seperti menutupi telapak tangan dengan lengan baju atau peci yang menutupi dahi.  Ini adalah pendapat dalam madzhab Syafi’iyah dan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad.
Pendapat kedua, tidak wajib meletakkan anggota sujud secara langsung di lantai atau alas shalat. Namun dibolehkan sujud dalam keadaan anggota sujudnya tertupi pakaian yang dikenakan ketika shalat. Seperti, sujud dalam keadaan peci menutupi dahi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama –Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali– dan pendapat para ulama masa silam, seperti Atha’, Thawus, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, al-Auza’i, dsb. Pendapat kedua ini insya Allah lebih kuat berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كُنَّا نُصَلِّي مَع النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم في شِدَّة الحَرِّ، فإذا لم يستطع أحدُنا أن يُمكِّنَ جبهتَه مِن الأرض؛ بَسَطَ ثوبَه فَسَجَدَ عليه
Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari yang sangat panas. Jika ada sahabat yang tidak mampu untuk meletakkan dahinya di tanah, mereka membentangkan ujung bajunya, kemudian bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ، يَتَّقِي بِفُضُولِهِ حَرَّ الْأَرْضِ وَبَرْدَهَا
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan satu pakaian, yang beliau gunakan untuk membungkus dirinya. Beliau gunakan ujung-ujung pakaiannya untuk menghindari panas dan dinginnya tanah. (HR. Ahmad dan dinilai hasan li ghairihi oleh Syuaib al-Arnauth).
Dan bebrapa hadis lainnya.
Hadis ini menunjukkan bahwa sujud dengan kondisi dimana anggota sujud tertutupi pakaian shalat tidaklah membatalkan shalatanya. Namun perlu diingat bahwa hal ini diperbolehkan JIKA dibutuhkan. Sebagaimana rincian pada pembahasan di bawah ini.
Sujud Menggunakan Alas
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin memberikan rincian tentang hukum bersujud di atas alas. Beliau mengatakan:
Alas untuk sujud ada tiga macam:
Pertama, alas tersebut merupakan salah satu anggota sujud. Misalnya sujud sambil meletakkan tangan di dahi, sehingga dahinya tertutup tangan. Atau meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, atau mengangkat salah satu kakidan diletakkan di atas kaki satunya. Sujudnya dengan kondisi seperti ini hukumnya terlarang dan sujudnya tidak sah. Karena berarti ada anggota sujud yang tidak menempel tanah.
Kedua, alas tersebut bukan anggota sujud, namun melekat di badan orang yang shalat. Misalnya: peci, surban, baju, dsb. Bersujud di atas alas semacam ini hukumnya makruh, kecuali jika ada kebutuhan. Misalnya, untuk menahan panasnya lantai. Anas bin Malik tmengatakan: “Kami shalat bersama Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pada kondisi terik yang sangat panas. Jika diantara kami ada yang tidak kuat meletakkan dahinya di tanah, mereka menghamparkan ujung pakaiannya dan sujud di atasnya.”
Hadis ini menunjukkan bahwa menggunakan alas ketika sujud ketika TIDAK dibutuhkan adalah makruh. Karena para sahabat yang menghamparkan pakaiannya untuk digunakan alas sujud hanya mereka yang merasa tidak kuat menahan panasnya tanah masjid. Sementara mereka yang tidak merasa kepanasan, tidak menghamparkan bajunya untuk alas dahi ketika sujud.
Ketiga, bersujud dengan alas yang tidak termasuk pakaian yang melekat pada tubuh orang yang shalat. Misalnya: tikar, sajadah, karpet, keramik, sandal, dan semacamnya. Alas-alas sujud semacam ini BOLEH digunakan untuk sujud. (Simak asy-Syarh al-Mumthi’, 3:114 – 115)
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Selasa, 29 Oktober 2013

Bayi Meninggal Beberapa Saat Setelah Lahir. Di-Aqiqohi?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, “Jika seorang anak mati setelah ia lahir beberapa saat, apakah mesti diaqiqahi?”

Jawabannya, “Jika anak termasuk mati beberapa saat setelah kelahiran, ia tetap diaqiqahi pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh saat itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faedah aqiqah adalah seorang anak akan memberi syafa’at pada kedua orang tuanya. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Alasannya, karena aqiqah barulah disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqiqah. Akan tetapi, barangsiapa yang dicukupkan rizki oleh Allah dan telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih aqiqah. Jika memang tidak mampu, maka ia tidaklah dipaksa.”

Si penanya bertanya lagi, “Apakah ketika itu ia diberi nama?” Jawaban beliau, “Iya diberi nama jika ia keluar setelah ditiupkannya ruh yaitu bila genap empat bulan dalam kandungan.”

Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 14, no. 42

Selengkapnya baca: http://rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3090-hadiah-di-hari-lahir-7-waktu-pelaksanaan-aqiqah.htmlo

Tips Memulai Usaha Kecil Agar Sukses dengan Cepat

Jakarta - Perusahaan pemula yang berubah menjadi sebuah perusahaan sukses yang bernilai miliaran bahkan triliunan rupiah dengan cepat bukanlah hal yang mustahil. Di dalam dunia bisnis membangun usaha tak ada bedanya dengan bermain lotre.

Menaruh semua uang Anda lalu bertaruh dan berharap mendapatkan jackpot. Dalam dunia bisnis untuk memulai usaha kecil Anda harus menyadari kenyataan yang ada daripada harus terlalu berambisi untuk mengejar impian terdahsyat Anda dalam berbisnis. Berikut ini tips dari Tung Desem Waringin:

1. Coba lihat sekeliling Anda apakah ada contoh sukses yang ingin Anda pelajari? Pelajarilah bukannya mencontek sepenuhnya.

2. Karena perjalanan bisnis adalah perjalanan yang penuh dengan risiko, maka carilah partner daripada harus menggunakan uang sendiri untuk Investasi. Memang jika menguntungkan hasil akan dibagi dua dengan partner tapi ini untuk meminimalisir kebangkrutan dini.

3. Jika Anda tidak ingin bekerja keras, lembur dan melupakan keuntungan pribadi bahkan sedikit kesehatan maka bidang wirausaha bukanlah milik Anda. Pada awalnya, Anda pasti tak akan mampu membayar karyawan meskipun dengan harga yang murah dan jadi karyawan Anda ya Anda lah sendiri.

4. Ingatlah jika waktu adalah uang, misalnya seperti Rp 50 ribu perjam. Dengan cara seperti ini maka Anda akan terbantu dalam mengambil sebuah keputusan.

5. Anda yang terlalu berambisi untuk meraih sukses justru merekrut karyawan tanpa mempedulikan ukuran usaha yang Anda jalankan. Sikap pemilik usaha yang mempunyai sebuah visi untuk usahanya bisa terhalang dengan adanya karyawan yang malah bertentangan dengan visi tersebut.

Selamat dan semangat berwirausaha :) !!

Sabtu, 19 Oktober 2013

Testimoni Istri Menunjukkan Akhlak Sebenarnya Dari Seorang Lelaki

Mungkin tidak jarang kita mendengar seorang laki-laki yang sangat baik dengan kita ketika bergaul, akan tetapi ternyata dia hobi main pukul dengan istrinya dan suka membentak serta menghardik istrinya. Ya, salah satu tolak ukur akhlak sebenarnya laki-laki adalah penilaian dari istri. Mengapa?
Karena suami umumnya mempunyai “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istrinya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena bisa jadi statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.
Wanita adalah mahkluk yang lemah di hadapan laki-laki, jika seseorang bisa mengusai dirinya dalam bermuamalah dengan orang yang lemah maka itu penampakan akhlaknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Mubarakfuriy,
“Karena kesempurnaan iman akan mengantarkan kepada kebaikan akhlak dan berbuat baik kepada seluruh manusia. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, karena mereka para wanita adalah tempat meletakkan kasih sayang disebabkan kelemahan mereka.”1
Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya2
Beliau juga bersabda:
خَيْرُكُمْخَيْرُكُمْلِأَهْلِهِوَأَنَاخَيْرُكُمْلِأَهْلِي
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku
Demikianlah bahwa akhlak di seseorang bersama istrinya adalah akhlak sebenarnya. Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang paling tinggi kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan mudharat. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”4

Catatan Kaki

1 Tuhfatul Ahwazi 4/273, Darul Kutub Al-‘ilmiyah, Beirut, Syamilah
2 HR At-Thirmidzi no 1162,Ibnu Majah no 1987 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 284
4 Nailul Authar 6/245-256, Darul hadits, Mesir, cet. I, 1413 H, Syamilah
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslimah.or.id
Hikmah yang saya peroleh:                                                                                               1. Testimoni istri menunjukkan akhlak sebenarnya seorang suami dapat dibenarkan manakala istri memiliki sifat amanah (baik perkataan maupun perbuatannya).                                            
2. Suami perlu berilmu bagaimana menjadi suami yang benar (berdasar timbangan syar'i tentunya). Dengan ilmu tersebut insyaAlloh kepemimpinan suami menjadi payung teduh bagi istri dan anggota keluarga lainnya.                                                                                                           3. Akhlak menjadi cerminan isi hati seseorang. Maka agar akhlak baik perlu memperbaiki hati dengan tempaan ilmu, amal dan sabar.                                                                               4. Membiasakan diri untuk bersikap rendah hati serta menganggap siapapun sebagai raja meskipun orang tersebut nyatanya hanya pembantu rumah tangga kita. Hal ini untuk membiasakan kita untuk bersikap santun kepada siapa saja tanpa memandang jabatan mereka.                             5. Istri, ibu dari anak-anak kita.. yang darinya lahir generasi yang terus sujud dan bertakbir kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala.  

Tanda Ittiba’ (2) : Takut Terhadap Penyimpangan Dan Istidraj

Di antara tanda-tanda dan bukti-bukti ittiba’ yang paling nampak adalah rasa takut seorang hamba dari penyimpangan dan dosa-dosanya. Dan rasa takutnya dari istidraj (diberikan kenikmatan-kenikmatan sehingga tetap di dalam kesesatannya –pen) dan ketidak-kokohan dirinya di atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallahu’alaihi Wasallam. Tanda-tanda ini telah nampak jelas dan gamblang pada diri para sahabat dan tabi’in rahimahumullah.

Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya keadaan seorang mukmin ketika melihat dosa-dosanya, sebagaimana keadaan dia ketika duduk di bawah suatu gunung. Dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya. Sedangkan orang yang fajir melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya. Dia mengusirnya begitu saja”.1

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang yang beriman melaksanakan ketaatan-ketaatan dalam keadaan takut dan khawatir. Sedangkan orang yang fajir melakukan maksiat-maksiat dengan perasaan aman”.2

Imam Bukhari berkata, Ibrahim At-Taimi berkata, “Tidaklah aku membandingkan perkataanku terhadap perbuatanku melainkan aku merasa takut kalau-kalau aku adalah seorang pendusta.” Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi Shallahu’alaihi Wasallam, semuanya mengkhawatirkan dirinya terkena sifat nifaq. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa dia memiliki keimanan Jibril dan Mikail.” Disebutkan dari Al-Hasan, “Tidak ada yang takut kepada-Nya kecuali orang yang beriman, dan tidak merasa aman dari-Nya kecuali orang munafiq”.3

Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq – manusia yang paling utama dari umat ini setelah Nabinya – berkata, “Tidaklah aku tinggalkan sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah Shallahu’alaihi Wasallam melainkan aku juga mengamalkannya. Sungguh aku takut menyimpang jika aku meninggalkan sesuatu dari perintah beliau”.
Ibnu Bath-thah memberikan komentar terhadap perkataan Ash-Shiddiq ini dengan mengatakan, “Inilah Ash-Shiddiq al-Akbar – wahai saudaraku – beliau takut dirinya menyimpang jika menyelisihi sesuatu dari perintah Nabinya Shallahu’alaihi Wasallam. Maka apa jadinya suatu zaman yang manusianya menghina Nabi mereka dan perintah-perintahnya, berbangga dengan menyelisihinya dan mencela sunnahnya?! Kita memohon kepada Allah perlindungan dari ketergelinciran dan keselamatan dari buruknya amal”.4

Catatan Kaki
1 Shahih al-Bukhari no. 6308.
2 Tafsir Ibnu Katsir (2/235).
3 Al-Bukhari dengan Al-Fath (1/135).
4 Lihat perkataan Ash-Shiddiq di dalam Shahih Al-Bukhari no. 3093, dan komentar Ibnu Bath-thah di dalam al-Ibanah al-Kubra (1/245, 246).
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Hikmah yang saya petik:
1. Ittiba' yang benar ditunjukkan dengan semakin bertaqwanya seorang hamba.
2. Ketaatan yang kita lakukan harus diiringi dengan khouf (rasa takut) dan roja' (penuh harap).
3. Para sahabat memberikan contoh yang sangat luar biasa dalam menjaga ketaqwaannya, hal ini ditunjukkan dari ucapan Ibnu Abi Mulaikah: “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi Shallahu’alaihi Wasallam, semuanya mengkhawatirkan dirinya terkena sifat nifaq. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa dia memiliki keimanan Jibril dan Mikail.”
4. Mencukupkan diri dengan apa yang Rosululloh lakukan adalah sebaik-baik ittiba' meskipun banyak orang yang menganggap baik amal ini dan itu.

Tanda Ittiba’ (1) : Mengagungkan Nash-Nash Syar’iyah

Tanda dan bukti ittiba’ yang paling nampak adalah mengagungkan nash-nash agama yang telah tetap. Yaitu dengan menghormati, memuliakan, mendahulukannya, tidak meninggalkannya, meyakini bahwa petunjuk hanya ada padanya tidak pada selainnya, mempelajari, memahami, memperhatikan, mengamalkannya, berhukum kepadanya dan tidak menentangnya. Dan ini adalah petunjuk tokoh-tokoh panutan dan imam-imam di dalam ittiba’, yaitu para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang setelah mereka.
Abdullah bin Mughaffal pernah melihat seorang sahabatnya melempar kerikil dengan jarinya. Lalu dia berkata kepadanya, “Jangan kau lakukan itu. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang melempar kerikil dengan jari dan beliau membencinya.” Kemudian setelah itu dia melihatnya melakukan lagi. Lalu Abdullah berkata kepadanya, “Bukankah telah kusampaikan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang perbuatan ini? Kemudian aku lihat engkau melakukannya lagi? Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya”.1
Khirasy bin Jubair berkata, “Aku melihat seorang pemuda di masjid melempar kerikil dengan jarinya. Lalu ada seorang tua berkata kepadanya, “Jangan kau lempar kerikil dengan jari, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang perbuatan itu.” Kemudian pemuda itu lalai dan menyangka bahwa orang tua tadi tidak memperhatikannya, lalu dia melempar kerikil dengan jarinya lagi. Maka orang tua itupun berkata kepadanya, “Aku sampaikan kepadamu bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang perbuatan itu, kemudian engkau melakukannya. Demi Allah, aku tidak akan menghadiri jenazahmu, aku tidak akan menjengukmu jika engkau sakit dan aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya”.2
Ibnu Umar radhiallahu’anhu menyampaikan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
(( إذا استأذنت أحدكم امرأته إلى المسجد فلا يمنعها ))
Jika salah seorang dari kalian dimintai izin oleh istrinya untuk pergi ke masjid maka janganlah dilarang”.
Lalu salah seorang anaknya berkata, “Kalau demikian, demi Allah aku akan melarangnya.” Maka Ibnu Umar menghadap kepadanya dan mencelanya dengan celaan yang belum pernah ia berikan kepada seorangpun sebelumnya. Kemudian dia berkata, “Aku sampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tapi engkau berkata, kalau demikian demi Allah aku akan melarangnya?!”3
Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengharamkan apa saja yang ada di antara kedua batunya. Seorang perawi berkata, maksud beliau adalah kota Madinah. Beliau (Abu Hurairah) berkata, maka seandainya aku mendapati seekor rusa yang diam, aku tidak akan mengagetkannya”.4
Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang pertukaran dua dirham dengan satu dirham. Lalu ada seseorang yang berkata, “Menurutku, ini tidak mengapa asalkan kontan.” Maka Ubadah berkata, “Aku katakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, sedangkan engkau katakan, menurutku tidak mengapa. Demi Allah, engkau dan aku tidak akan dinaungi oleh satu atap”.5
Dari Ibnu Abbas Shallallahu’alaihi Wasallam, dia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan tamattu*). Lalu Urwah bin Zubair berkata, Abu Bakar dan Umar melarang dari mut’ah (yakni tamattu’ dalam haji –pen). Maka Ibnu Abbas berkata, “Aku melihat mereka akan binasa. Aku berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, tetapi mereka berkata Abu Bakar dan Umar melarangnya”.6
Ibnu Sirin menyampaikan satu hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang lalu orang itu berkata, “Fulan dan fulan berkata begini”. Maka Ibnu Sirin berkata, “Aku sampaikan kepadamu hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, namun engkau malah berkata fulan dan fulan berkata begini dan begitu? Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya”.7
Imam Asy-Syafi’i berkata kepada seseorang, “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka ambillah. Akan tetapi, apa saja yang mereka katakan dengan pendapat mereka saja, maka buanglah di tempat pembuangan kotoran”.8
Catatan Kaki
1 Shahih Muslim no. 1954, Sunan Ad-Darimi (1/124) no. 446 dan ini lafazh darinya.
2 Sunan Ad-Darimi (1/127) no. 438.
3 Sunan Ad-Darimi (1/124) no. 448.
4 Shahih al-Bukhari no. 9944.
5 Sunan Ad-Darimi (1/129) no. 443.
*)*) [Istilah tamattu’ dalam hadits tentang haji mengandung dua kemungkinan makna, makna khusus dan umum. Tamattu’ secara khusus – sebagaimana istilah ahli fiqih – adalah melakukan ihram untuk umrah di bulan haji kemudian tahallul dan diteruskan dengan ihram untuk haji. Adapun secara umum mencakup istilah tamattu’ secara khusus tersebut dan juga qiran, yaitu menggabungkan ibadah haji dengan umrah. Lihat tafsir Ibnu Katsir surat Al-Baqarah ayat 196 –pen.]
6 Jami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/1210) no. 2381.
7 Ad-Darimi (1/124) no. 247.
8 Ad-Darimi (1/72) no. 204.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id