Sabtu, 05 Februari 2011

Andai Dia Ibuku

Frase singkat penuh hikmah

Siang itu sekitar pukul setengah dua belas. Salim segera bergegas menuju sebuah masjid di sebelah utara kantornya untuk melaksanakan sholat jum’at.
“Pak No… monggo… teng masjid …” ucap Salim kepada Pak Paino satpam kantor tersebut.
“Oyi Lim…” jawab Pak Paino dengan ramah.
Salim melewati jalan sebagaimana biasanya. Melewati sebuah lorong dengan lebar 6 meter di samping sebuah supermarket ternama di Kota Malang. Dikatakan lorong karena jalan yang seharusnya 6 meter tersebut kini berubah hanya menjadi 3 meter karena warung nasi yang banyak berdiri dan turut memberi border sehingga memangkas ukuran sebenarnya lorong tersebut. Keadaan lorong waktu itu cukup riuh oleh para pelajar yang baru pulang, karyawan, serta penduduk setempat. Warung nasi yang berjajar di sepanjang lorong tersebut juga tampak menambah keramaian, terlebih lagi dengan adanya karyawan yang sedang menikmati santap siang. Mereka tampak santai dengan rokok dan koran di tangannya… padahal sekitar lima belas menit lagi khotib sudah naik di atas mimbar.
Sekitar dua puluh meter dari masjid tersebut di tepi jalan kutemui seorang ibu dengan seorang anak perempuannya dengan pakaian yang sangat lusuh. DI tepi jalan denan hanya berpayungkan daun semak-semak yang menjuntai dan menjorok lebih keluar. Dari penampilannya saya memahami bahwa ibu itu adalah seorang pengemis dengan sebuah plastik berbentuk tabung yang saya rasa adalah tempat untuk menadahi uang. Dan bukan pemulung karena tidak tampak karung atau pengungkit yang biasa dibawa untuk mengambil sampah dari tong sampah. Dia adalah seorang pengemis.
Keadaan siang itu matahari memang cukup menyengat. Tidak seperti hari-hari biasanya yang lebih banyak mendung ketimbang panas. Ketika saya berjalan tepat melewati depannya, sang putri ibu pengemis itu berkata “adooh bu… panas…” seraya bersandar manja di paha ibunya. Tampak peluh keringat dari putri tersebut serta raut wajah dan gerak bibir yang menunjukkan keluhan pada sang ibu yang menunjukkan panasnya hari itu.
Lantas sang ibu yang tampak tidak kalah payah dan letih tersiram panas matahari itu berkata seraya tersenyum simpul “iyo nak…”. Alas duduk berupa karung ia rapikan dan menggesernya sedikit ke depan serta mengangkat anaknya mendekati tubuhnya sehingga diharapkan tidak ada tubuh putrinya yang menyentuh aspal jalan yang cukup panas.
Tidak ada hal lainnya yang saya perhatikan dari adegan singkat yang Alloh tunjukkan kepada saya dari dua tokoh yaitu ibu pengemis dan putrinya. Dengan waktu yang singkat itu kiranya cukup bagi saya untuk merekamnya dalam pikiran. Sangat singkat namun dengan beribu hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Andai dia adalah ibuku

“Frase kehidupan ibu pengemis dan putrinya” terpotong sampai di situ. Sebuah frase yang tidak lebih dari 5 detik. Namun pikiran saya begitu berkecamuk. Sebuah keadaan hidup yang saya sendiri tidak tahu apakah saya mampu kiranya berada dalam keadaan seperti ibu pengemis itu. Atau bagaimana kiranya jika yang saya lihat itu adalah ibu saya tengah menggendong adik perempuan saya, dengan keadaan pakaian dan tubuh yang lusuh serta peluh yang keluar dari sekujur tubuhnya.
Saya membayangkan sekiranya ibu saya yang kini mungkin sedang melaksanakan sholat Dhuhur di rumah, atau tengah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, bertukar posisi dan peran dengan ibu pengemis itu. Sungguh saya tidak bisa membayangkan, betapa sakitnya hati ini melihat seorang ibu yang sejak saya dalam timangannya hingga sedewasa ini, masih harus bersusah payah menafkahi putra-putrinya dengan uang receh atau uang lembaran yang hasilnya sangat tidak bisa diharapkan untuk mencukupi kebutuha. Sekiranya uang tersebut terkumpul hanya mampu memberi dua atau tiga suapan untuk perutnya, selebihnya untuk putra-putri nya.
Sobat, ini merupakan pelajaran bagi kita semua betapa gigih dan kuatnya seorang ibu dalam menjalani kehidupan ini. Demi kebutuhan keluarga pekerjaan apapun yang sekiranya dapat memberikan pendapatan akan dilakukan. Tidak terkecuali dengan mengemis, yang saya pribadi tidak dapat mengatakannya sebagai sebuah pekerjaan karena Rosululloh Shollallohu alaihi wa sallam melarang umatnya untuk meminta-minta (dalam artian mengemis).
Akan tetapi kita pandang saja dari sisi lainnya. Dari sisi nilai perjuangan seorang ibu pengemis tersebut.
Keadaan yang terjadi pada ibu pengemis itu sangat mungkin terjadi pada siapa saja. Dalam hal yang lebih luas, segala keadaan yang terjadi dalam kehidupan ini sangat mungkin terjadi bagi siapa saja. Sebagai seorang yang beriman hendaknya kita selalu mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi. Dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga kadar keimanan dan ketaqwaan kita, meningkatkan dan mempertahankannya. Menjaganya agar tetap istiqomah. Tidak memandang apakah kita saat itu dalam keadaan sama miskinnya dengan ibu pengemis tersebut atau orang yang jauh lebih mampu.
Suatu keadaan yang mana mengharuskan kita bersikap bijak dalam ranah sosial kemasyarakatan dan berusaha mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya dalam tinjauan spiritual.
Saya sangat tersentuh melihat pemandangan seperti ini. Akan tetapi setelah berpikir lebih dalam, sebenarnya Alloh telah mengkaruniakan kepada kita untuk dapat berbuat lebih, dalam arti Alloh telah memberikan kelebihan akal dan kekuatan fisik untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik, dan dengan akal tersebut kita juga mampu membantu dan berusaha memperbaiki keadaan saudara kita yang berada dalam kemiskinan. Salah satu contohnya adalah keadaan ibu pengemis dalam tulisan ini .

Nikmat jasad dan pemaksimalannya


Alloh mengkaruniakan jasmani dan rohani sejak kita dilahirkan. Artinya, sejak umur kita satu hari di dunia ini kita sudah diberikan kemampuan untuk mengolah segala potensi jasmani dan rohani kita. Tentunya sesuai kadar kemampuan penerimaan akal kita terhadap apa yang diterimanya. Terlepas dari kemampuan personal dalam menerima segala pengetahuan dari luar, proses pendidikan dan pengajaran yang diberikan orang tua dan atau lingkungan memberi dampak yang signifikan kepada pembentukan karakter seseorang.
Dua hal ini, yaitu kemampuan personal dan proses pendidikan membentuk sebuah simpul yang mengikat satu dengan lainnya. Tidak bisa dipisahkan antara perkembangan kemampuan personal dengan proses pendidikan yang diterimanya. Semuanya memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter pribadi tersebut. Akan tetapi kadar kemampuan keduanya dalam membentuk pribadi seseorang tidaklah sama.
Suatu ketika kita jumpai kemampuan personal dalam menerima pengajaran dari luar lebih baik ketimbang kualitas pendidikan yang diterimanya. Dalam keadaan yang lain, kemampuan personal tidak lebih baik ketimbang proses pendidikan yang diberikan.
Mana yang harus kita prioritaskan ketika kita tidak mengetahui mana yang lebih dominan di antara dua hal tersebut? Kemampuan personal atau kualitas pendidikan?
Lingkungan keluarga yang merupakan tempat pendidikan terawal dari seorang anak manusia memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan fisik maupun intelektual. Dari beberapa penelitian yang dilakukan para ahli, pendidikan yang diberikan lingkungan keluarga memberi pengaruh hingga 90 % terhadap kepribadian seorang anak.
Pendidikan, atau lebih mudah kita katakan dengan perilaku sehari-hari anggota rumah, menjadi contoh yang benar-benar diperhatikan dan langsung ditiru oleh sang anak. Perilaku yang baik akan menjadi pribadi bagi si kecil tersebut. Begitu juga sebaliknya dengan perilaku buruk anggota keluarga, baik disengaja maupun tidak, akan menjadi bagian dari pribadinya.
Oleh karena itu, kita saat ini yang telah menjadi pribadi-pribadi yang dewasa, hendaknya mampu berpikir jauh ke depan dalam bersikap dan bertingkah laku di depan si kecil. Apakah dia anak dari tetangga kita, anak dari saudara kita, terlebih lagi anak kita sendiri. Kita harus benar-benar menyadari pentingnya pendidikan dan perilaku yang kita berikan terhadap tumbuh kembang sang anak. Meskipun pada kenyataannya saya pribadi masih menemukan banyak orang tua yang kurang peduli terhadap pendidikan dan perilakunya kepada anak usia dini.
Apa hubungan hal ini dengan kisah sang ibu pengemis tersebut? Hasil sebuah proses pendidikan. Saya beranggapan bahwa keadaan ibu pengemis ini dengan keadaannya sekarang –sebagai seorang pengemis- tidaklah jauh dari pendidikan yang diberikan kedua orang tuanya saat sang ibu masih kecil. Dan pendidikan di sini bersumber pada dua keadaan, pertama, pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua secara langsung, kedua, pendidikan yang diberikan oleh lingkungan pergaulan kepadanya. Dua sumber ini memberikan dampak yang sama kuat terhadap pola kepribadian pribadi tersebut.
Dari aspek orang tua, seorang anak akan sangat banyak meniru sikap kedua orang tua, baik dalam hal ucapan maupun perbuatan. Ucapan yang sering diucapkan orang tua akan sangat mudah ditiru oleh sang anak, begitu juga dengan tingkah laku yang mereka contohkan kepada anak mereka.
Dalam hal perilaku inilah yang lebih banyak memberi warna dalam kepribadian sang anak. Sebagaimana kita ketahui, segala perbuatan pastilah didahului dengan kehendak atau kita kenal dengan motivasi.
Motivasi yang rendah akan menghasilkan perilaku yang kurang bernilai. Begitu juga sebaliknya, jika motivasi yang dimiliki tinggi, perilaku yang dihasilkanpun adalah perilaku yang sangat baik. Dan tentunya motivasi yang tinggi ini menghasilkan prestasi yang jauh lebih baik dari motivasi yang rendah.
Inilah pendidikan yang penting yang seharusnya para pendidikan dan orang tua memperhatinkannya. Pendidikan berupa kekuatan motivasi. Berusaha untuk memiliki motivasi yang tinggi. Sering kali orang tua dan para pendidik hanya berusaha mencapai unsur nilai dan melupakan unsur motivasi ini.
Banyak orang tua mengikutsertakan putra putrinya mengikuti berbagai bimbingan belajar tambahan semata-mata agar putra putrinya menjadi yang terbaik di kelasnya. Dengan bimbingan belajar yang diikuti tersebut sangat mungkin sang anak mencapai apa yang diharapkan orang tuanya, yatiut juara kelas. Akan tetapi ketika tiba masa sang anak merasa jenuh dengan segala pelajaran yang ia terima dari sekolah maupun bimbingan belajar, apakah ia juga mendapatkan cara dari sekolah maupun bimbingan belajar bagaimana menghilangkan kejenuhan itu?
Inilah motivasi. Ketika sang orang tua selalu memberi motivasi positif, motivasi yang tinggi dan kuat untuk menjadi manusia terbaik dan bermanfaat, hal ini akan memberi dampak yang tidak kalah positifnya manakala sang anak nanti menghadapi keadaan yang sangat tertekan. Suatu keadaan yang tidak diperlukan lagi faktor keilmuan, yang dibutuhkan hanyalah motivasi bagaimana untuk bangkit dan menjadi manusia yang bermartabat.
Aspek pendidikan motivasi inilah yang mungkin tidak dimiliki ibu pengemis dari orang tuanya. Tidak ada contoh dari orang tuanya untuk berusaha mencari penghidupan yang lebih baik ketimbang mengemis. Tidak ada perkataan kedua orang tua kepada sang anak untuk selalu berusaha menuntut ilmu dan tidak putus asa dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Tidak ada dorongan dari orang tuanya untuk mengikuti pendidikan gratis atau berusaha untuk mengejar beasiswa yang disediakan di dunia pendidikan.
Ketika tidak ada dorongan, motivasi, atau semangat dari kedua orang tua kepada sang anak… terlebih jika sang anak hanya bergaul di lingkungan keluarga… lantas siapa yang bisa memberi motivasi itu? Tetangga kah? Atau teman sejawatkah? Atau gurukah? Padahal sekolahpun tidak pernah? Lantas siapa?

Ayah ibu ajarkan aku bercita-cita


Saya teringat depan perkataan ibu saya sekitar 5 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di kelas 2 STM. Saya berkata kepadanya “Ma, aku lulus STM nanti mau masuk ke pesantren ya… Cuma satu tahun… nanti bisa balik lagi dari kerja seperti biasanya.” Ibu saya lantas menjawab dengan tersenyum “Ya terserah… mana yang suka… kalo dipaksakan khan ya nggak bagus…”
Alhamdulillah, ucap saya dalam hati dengan sumringah. Memang, sejak awal masuk STM, saya sudah berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren. Ada beberapa motivasi sehingga saya ingin melanjutkan ke pesantren. Pertama, karena saya ingin merasakan dunia pesantren, ingin menjadi seorang santri. Kedua, pendidikan yang hanya satu tahun memungkinkan saya untuk dapat segera bekerja dengan berbekal pendidikan STM yang saya terima.
Perasaan gembira dan syukur senantiasa terpancar dari hatiku hingga akhir masa pendidikanku. Di akhir masa pendidikanku, aku tetap berkeinginan untuk melanjutkan ke pesantren. Namun begitu aku tetap mencoba mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan yang membuka lowongan. Beberapa tes pekerjaan kuikuti. Beberapa kali gagal, antara lain tes masuk STAN dan tes PLN. Saya mengikuti pula tes di Trakindo. Alhamdulillah lulus dan tinggal menunggu tes keberangkatan. Namun hingga sekitar 7 bulan saya menunggu tidak ada informasi dari pihak perusahaan tersebut berhubungan dengan rencana keberangkatan.
Dalam waktu yang cukup panjang tersebut, berbagai tes pekerjaan sangat menyibukkan saya. Namun begitu, keinginan saya untuk masuk ke pesantren tetap besar. Hingga saya mengutarakan keinginan tersebut kembali ke ibu saya. Beliau menjawab “Coba aja dulu ngelamar pekerjaan. Sekarang itu cari kerja sulit. Lha kalau sudah kerja nanti mau kuliah bisa masuk ekstensi. Kalau mau ngaji khan nggak harus di pesantren. Kalaupun di pesantren di Malang juga bisa. Tapi kerja aja dulu.”
Saya sedih mendengar pernyataan ibu. Keinginan saya untuk pergi ke pesantren kecil kemungkinannya untuk bisa terealisasi. Saya menyadari sedikit banyak isyarat dari perkataan ibu.
Kini, setelah sekian lama bekerja, tepatnya sudah tiga tahun saya memahami dan menerima apa yang diharapkan ibu dari perkataannya. Sebuah pelajaran tentang motivasi yang ia ajarkan kepada saya. Sebuah motivasi yang bersifat sementara dan sesaat namun dengan efek waktu jangka panjang.
Coba perhatikan sobat, ketika di awal waktu sekolah saya, ia mengatakan persetujuannya kepada saya untuk melanjutkan pendidikan di pesantren. Ini hanyalah upayanya untuk menjaga semangat saya yang masih satu setengah atau dua tahun lagi menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah ini. Sekiranya ibu mengatakan sanggahannya saat itu, mungkin semangat saya untuk belajar putus di situ dan menyebabkan pengaruh negatif untuk pendidikan saya sekitar dua tahun ke depan.
Saya rasa tidak ada kehendak untuk membohongi saya dengan sikapnya seperti itu. Ibu hanya mengucapkan apa yang sekiranya baik untuk masa depan saya berdasarkan pengalamannya. Sekaligus beruapaya untuk menjaga semangat saya dalam belajar hingga saatnya nanti saya memahami sendiri maksud perkataannya.
Semangat seperti inilah yang seharusnya diperhatikan oleh setiap pendidik baik orang tua di rumah atau para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan. Upaya yang tidak semata-mata mencari nilai sebuah ketrampilan guna mencari nafkah darinya, lebih dari itu sebuah upaya untuk menjaga agar kekuatan dan kesabaran dalam menuntut ilmu dari keterampilan tersebut senantiasa membara.

Generasi awal yang memulai

Sudah tampak jelas bagi kita semua arti dari kehadiran orang tua dalam hidup seorang anak. Bagaimana pengaruh pendidikan yang mereka berikan kepada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, sejak dari dini kita sebagai calon generasi pendidik bagi putra-putri harus mempersiapkan dengan berbagai pengetahuan tentangnya.
Ketika kita acuh terhadap urusan pendidikan ini atau terlambat untuk mempersiapkannya, akan tampak dampaknya ketika kita berhadapan dengan putra-putri. Kecanggungan untuk mengajarkan hal yang benar tidak sepenuhnya kita ajarkan. Dapat disebabkan rasa malu kita untuk mengajarkannya. Dan hal ini disebabkan tidak terbiasanya kita untuk mengajarkan sebuah kebenaran. Adapun sebab lainnya bisa karena tidak siapnya kita mengatur waktu antara waktu pribadi dengan waktu untuk mendidik mereka. Jikalau kita melakukannya, niscaya mereka akan mengira bahwa apa yang kita ajarkan adalah sementara atau bahkan hanya senda gurau karena ketidakdisiplinan kita.
Begitu juga dengan ibu pengemis dalam kisah di atas. Generasi awal bertanggung jawab terhadap keadaan generasi saat ini. Memang tidak sepenuhnya tanggung jawab itu dapat dibebankan kepada generasi awal dan menyalahkan mereka disebabkan gagalnya pendidikan yang mereka berikan. Akan tetapi ada pengaruh yang tetap melekat meskipun sedikit dari pribadi generasi awal yang menyebabkan semua yang telah diberikan tidak diterima oleh sang anak.
Maka tidak ada alasan bagi kita melainkan segera membuka diri terhadap segala pendapat maupun ilmu pengetahuan. Mempelajari bagaimana ilmu menjadi orang tua itu penting. Bahkan merupakan hal wajib melihat keadaan sebagaimana kisah di atas. Tidak seharusnya kita beranggapan bahwa mempelajari hal orang tua itu aneh dikarenakan kita masih muda, dan sebaliknya bukanlah hal yang aneh bagi orang tua untuk mempelajari keadaan remaja dikarenakan usia kita yang tidak muda lagi.