Sabtu, 19 Oktober 2013

Tanda Ittiba’ (2) : Takut Terhadap Penyimpangan Dan Istidraj

Di antara tanda-tanda dan bukti-bukti ittiba’ yang paling nampak adalah rasa takut seorang hamba dari penyimpangan dan dosa-dosanya. Dan rasa takutnya dari istidraj (diberikan kenikmatan-kenikmatan sehingga tetap di dalam kesesatannya –pen) dan ketidak-kokohan dirinya di atas kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallahu’alaihi Wasallam. Tanda-tanda ini telah nampak jelas dan gamblang pada diri para sahabat dan tabi’in rahimahumullah.

Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya keadaan seorang mukmin ketika melihat dosa-dosanya, sebagaimana keadaan dia ketika duduk di bawah suatu gunung. Dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpanya. Sedangkan orang yang fajir melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang melewati hidungnya. Dia mengusirnya begitu saja”.1

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang yang beriman melaksanakan ketaatan-ketaatan dalam keadaan takut dan khawatir. Sedangkan orang yang fajir melakukan maksiat-maksiat dengan perasaan aman”.2

Imam Bukhari berkata, Ibrahim At-Taimi berkata, “Tidaklah aku membandingkan perkataanku terhadap perbuatanku melainkan aku merasa takut kalau-kalau aku adalah seorang pendusta.” Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi Shallahu’alaihi Wasallam, semuanya mengkhawatirkan dirinya terkena sifat nifaq. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa dia memiliki keimanan Jibril dan Mikail.” Disebutkan dari Al-Hasan, “Tidak ada yang takut kepada-Nya kecuali orang yang beriman, dan tidak merasa aman dari-Nya kecuali orang munafiq”.3

Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq – manusia yang paling utama dari umat ini setelah Nabinya – berkata, “Tidaklah aku tinggalkan sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah Shallahu’alaihi Wasallam melainkan aku juga mengamalkannya. Sungguh aku takut menyimpang jika aku meninggalkan sesuatu dari perintah beliau”.
Ibnu Bath-thah memberikan komentar terhadap perkataan Ash-Shiddiq ini dengan mengatakan, “Inilah Ash-Shiddiq al-Akbar – wahai saudaraku – beliau takut dirinya menyimpang jika menyelisihi sesuatu dari perintah Nabinya Shallahu’alaihi Wasallam. Maka apa jadinya suatu zaman yang manusianya menghina Nabi mereka dan perintah-perintahnya, berbangga dengan menyelisihinya dan mencela sunnahnya?! Kita memohon kepada Allah perlindungan dari ketergelinciran dan keselamatan dari buruknya amal”.4

Catatan Kaki
1 Shahih al-Bukhari no. 6308.
2 Tafsir Ibnu Katsir (2/235).
3 Al-Bukhari dengan Al-Fath (1/135).
4 Lihat perkataan Ash-Shiddiq di dalam Shahih Al-Bukhari no. 3093, dan komentar Ibnu Bath-thah di dalam al-Ibanah al-Kubra (1/245, 246).
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Hikmah yang saya petik:
1. Ittiba' yang benar ditunjukkan dengan semakin bertaqwanya seorang hamba.
2. Ketaatan yang kita lakukan harus diiringi dengan khouf (rasa takut) dan roja' (penuh harap).
3. Para sahabat memberikan contoh yang sangat luar biasa dalam menjaga ketaqwaannya, hal ini ditunjukkan dari ucapan Ibnu Abi Mulaikah: “Aku mendapati tiga puluh sahabat Nabi Shallahu’alaihi Wasallam, semuanya mengkhawatirkan dirinya terkena sifat nifaq. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa dia memiliki keimanan Jibril dan Mikail.”
4. Mencukupkan diri dengan apa yang Rosululloh lakukan adalah sebaik-baik ittiba' meskipun banyak orang yang menganggap baik amal ini dan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar