Rabu, 01 Mei 2013

Mendidik Generasi Rabbani

At Tauhid edisi VII/16, Diposting 21 April 2011

Oleh: Ammi Nur Ba’its 

Semua masyarakat yang beriman mendambakan generasi masa depan adalah generasi rabbani. Bahkan mereka sendiri berharap bisa menjadi generasi rabbani itu sendiri. Karena semua sadar, bahwa label ‘rabbani’ menggambarkan generasi emas umat islam. Bagaimanakah cara mewujudkan generasi idaman ini?… 

Pengertian istilah “Rabbani” 
Dalam banyak kesempatan pidato atau ceramah yang bertajuk kepemudaan, tidak lepas dari istilah ini. Namun, seolah sudah menjadi kebiasaan masyarakat, mereka yang mendengarkan istilah baru, hanya terkadang ditelan ‘mentah-mentah’, tanpa peduli maknanya. Kita berharap, semua sikap ‘menahun’ semacam ini tidak selamanya dilestarikan, disamping itu, semoga tidak menimbulkan kesalah-pahaman terhadap inti informasi yang disampaikan. Berikut adalah keterangan para ulama tentang istilah ‘rabbani’, yang kami sarikan dari kitab Zaadul Masir fi Ilmi at-Tafsir, karya Ibnul Jauzi (1/298): 

Ditinjau dari tinjauan bahasa, Ibnul Anbari menjelaskan bahwa, kata ‘rabbani’ diambil dari kata dasar Rabb, yang artinya Sang Pencipta dan Pengatur makhluk, yaitu Allah. Kemudian diberi imbuhan huruf alif dan nun (rabb+alif+nun= Rabbanii), untuk memberikan makna hiperbol. Dengan imbuhan ini, makna bahasa ‘rabbani’ adalah orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Kata ‘rabbani’ merupakan kata tunggal, untuk menyebut sifat satu orang. Sedangkan bentuk jamaknya adalah rabbaniyun. 

Terdapat beberapa riwayat, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, tentang definisi istilah: “rabbani”. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, beliau mendefinisikan “rabbani” sebagai berikut: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma dan Ibnu Zubair mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Qatadah dan Atha’ mengatakan: Rabbaniyun adalah para fuqaha’, ulama, pemilik hikmah (ilmu). Imam Abu Ubaid menyatakan, bahwa beliau mendengar seorang ulama yang banyak mentelaah kitab-kitab, menjelaskan istilah rabbani: Rabbani adalah para ulama yang memahami hukum halal dan haram dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Antara Ilmu dan Seorang ‘Rabbani’
Dari semua keterangan di atas, dapat diambil sebuah benang merah bahwa semua ulama yang menjelaskan tentang pengertian istilah rabbani, mereka sepakat bahwa label ‘rabbani’ hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat-sifat berikut:

Pertama, berilmu dan memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
Kedua, mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya.
Ketiga, mengajarkannya kepada masyarakat.
Sebagian ulama menambahkan sifat keempat, yaitu mengikuti pemahaman para sahabat dan metode mereka dalam beragama. Karena sahabat merupakan standar kebenaran bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kurang dari salah satu diantara sifat di atas, tidak dapat disebut seorang rabbani. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnul Arabi, ketika ditanya tentang makna ‘rabbani’, beliau mengatakan: Apabila seseorang itu berilmu, mengamalkan ilmunya, dan mengajarkannya maka layak untuk dinamakan seorang rabbani. Namun jika kurang salah satu dari tiga hal di atas, kami tidak menyebutnya sebagai seorang rabbani. (Miftah Dar as-Sa’adah, 1/124).

Antara Ilmu dan Ibadah
Inti jawaban, mengapa seseorang itu layak dinamakan rabbani adalah karena dia telah melakukan amalan yang sangat mendekatkan dirinya kepada Ar-Rabb (Allah), sebagaimana pengertian ‘rabbani’ dari tinjauan bahasa. Karena itu, dari keterangan para ulama di atas, akan muncul satu pertanyaan, apa kaitan antara pengertian ulama tentang istilah ‘rabbani’ dengan makna kata ini secara bahasa. Atau dengan kata lain, apa kaitan antara ilmu, yang menjadi syarat mutlak seorang rabbani dengan ibadah kepada Allah?

Dijelaskan oleh Ibnul Anbari, keterkaitannya karena ilmu merupakan bentuk ibadah kepada Allah ta’ala. Disamping itu, seseorang hanya akan bisa melakukan ibadah kepada Allah, jika dia memahami tata cara ibadah yang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sehingga kata kunci dalam masalah ini adalah ‘ilmu’ (Zaadul Masir, 1/298). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zuhri – salah seorang ulama tabi’in –: Tidak ada satu bentuk peribadatan kepada Allah yang lebih mulia dibandingkan ilmu. (Hilyah al-Auliya, 2/61). Demikian juga dikatakan oleh Imam Ahmad: Mencari ilmu merupakan amalan yang paling mulia, bagi siapa saja yang niatnya benar. (Syarh Muntaha al-Iradat, 2/26). Hal yang semisal juga dikatakan Abdullah bin Mubarak, Saya tidak mengetahui ada sesuatu yang lebih mulia setelah nubuwah (kenabian) melebihi kegiatan menyebarkan ilmu. (Mausu’ah ad-Din an-Nashihah, 1/301)

Menuju Generasi Rabbani
Mendidik masyarakat menjadi generasi rabbani merupakan tanggung jawab semua orang. Karena semua manusia memiliki tanggung jawab untuk...
untuk membaca lebih lanjut, klik link berikut.. semoga bermanfaat :)
http://buletin.muslim.or.id/keluarga/mendidik-generasi-rabbani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar