Sabtu, 05 Februari 2011

Andai Dia Ibuku

Frase singkat penuh hikmah

Siang itu sekitar pukul setengah dua belas. Salim segera bergegas menuju sebuah masjid di sebelah utara kantornya untuk melaksanakan sholat jum’at.
“Pak No… monggo… teng masjid …” ucap Salim kepada Pak Paino satpam kantor tersebut.
“Oyi Lim…” jawab Pak Paino dengan ramah.
Salim melewati jalan sebagaimana biasanya. Melewati sebuah lorong dengan lebar 6 meter di samping sebuah supermarket ternama di Kota Malang. Dikatakan lorong karena jalan yang seharusnya 6 meter tersebut kini berubah hanya menjadi 3 meter karena warung nasi yang banyak berdiri dan turut memberi border sehingga memangkas ukuran sebenarnya lorong tersebut. Keadaan lorong waktu itu cukup riuh oleh para pelajar yang baru pulang, karyawan, serta penduduk setempat. Warung nasi yang berjajar di sepanjang lorong tersebut juga tampak menambah keramaian, terlebih lagi dengan adanya karyawan yang sedang menikmati santap siang. Mereka tampak santai dengan rokok dan koran di tangannya… padahal sekitar lima belas menit lagi khotib sudah naik di atas mimbar.
Sekitar dua puluh meter dari masjid tersebut di tepi jalan kutemui seorang ibu dengan seorang anak perempuannya dengan pakaian yang sangat lusuh. DI tepi jalan denan hanya berpayungkan daun semak-semak yang menjuntai dan menjorok lebih keluar. Dari penampilannya saya memahami bahwa ibu itu adalah seorang pengemis dengan sebuah plastik berbentuk tabung yang saya rasa adalah tempat untuk menadahi uang. Dan bukan pemulung karena tidak tampak karung atau pengungkit yang biasa dibawa untuk mengambil sampah dari tong sampah. Dia adalah seorang pengemis.
Keadaan siang itu matahari memang cukup menyengat. Tidak seperti hari-hari biasanya yang lebih banyak mendung ketimbang panas. Ketika saya berjalan tepat melewati depannya, sang putri ibu pengemis itu berkata “adooh bu… panas…” seraya bersandar manja di paha ibunya. Tampak peluh keringat dari putri tersebut serta raut wajah dan gerak bibir yang menunjukkan keluhan pada sang ibu yang menunjukkan panasnya hari itu.
Lantas sang ibu yang tampak tidak kalah payah dan letih tersiram panas matahari itu berkata seraya tersenyum simpul “iyo nak…”. Alas duduk berupa karung ia rapikan dan menggesernya sedikit ke depan serta mengangkat anaknya mendekati tubuhnya sehingga diharapkan tidak ada tubuh putrinya yang menyentuh aspal jalan yang cukup panas.
Tidak ada hal lainnya yang saya perhatikan dari adegan singkat yang Alloh tunjukkan kepada saya dari dua tokoh yaitu ibu pengemis dan putrinya. Dengan waktu yang singkat itu kiranya cukup bagi saya untuk merekamnya dalam pikiran. Sangat singkat namun dengan beribu hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Andai dia adalah ibuku

“Frase kehidupan ibu pengemis dan putrinya” terpotong sampai di situ. Sebuah frase yang tidak lebih dari 5 detik. Namun pikiran saya begitu berkecamuk. Sebuah keadaan hidup yang saya sendiri tidak tahu apakah saya mampu kiranya berada dalam keadaan seperti ibu pengemis itu. Atau bagaimana kiranya jika yang saya lihat itu adalah ibu saya tengah menggendong adik perempuan saya, dengan keadaan pakaian dan tubuh yang lusuh serta peluh yang keluar dari sekujur tubuhnya.
Saya membayangkan sekiranya ibu saya yang kini mungkin sedang melaksanakan sholat Dhuhur di rumah, atau tengah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, bertukar posisi dan peran dengan ibu pengemis itu. Sungguh saya tidak bisa membayangkan, betapa sakitnya hati ini melihat seorang ibu yang sejak saya dalam timangannya hingga sedewasa ini, masih harus bersusah payah menafkahi putra-putrinya dengan uang receh atau uang lembaran yang hasilnya sangat tidak bisa diharapkan untuk mencukupi kebutuha. Sekiranya uang tersebut terkumpul hanya mampu memberi dua atau tiga suapan untuk perutnya, selebihnya untuk putra-putri nya.
Sobat, ini merupakan pelajaran bagi kita semua betapa gigih dan kuatnya seorang ibu dalam menjalani kehidupan ini. Demi kebutuhan keluarga pekerjaan apapun yang sekiranya dapat memberikan pendapatan akan dilakukan. Tidak terkecuali dengan mengemis, yang saya pribadi tidak dapat mengatakannya sebagai sebuah pekerjaan karena Rosululloh Shollallohu alaihi wa sallam melarang umatnya untuk meminta-minta (dalam artian mengemis).
Akan tetapi kita pandang saja dari sisi lainnya. Dari sisi nilai perjuangan seorang ibu pengemis tersebut.
Keadaan yang terjadi pada ibu pengemis itu sangat mungkin terjadi pada siapa saja. Dalam hal yang lebih luas, segala keadaan yang terjadi dalam kehidupan ini sangat mungkin terjadi bagi siapa saja. Sebagai seorang yang beriman hendaknya kita selalu mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi. Dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga kadar keimanan dan ketaqwaan kita, meningkatkan dan mempertahankannya. Menjaganya agar tetap istiqomah. Tidak memandang apakah kita saat itu dalam keadaan sama miskinnya dengan ibu pengemis tersebut atau orang yang jauh lebih mampu.
Suatu keadaan yang mana mengharuskan kita bersikap bijak dalam ranah sosial kemasyarakatan dan berusaha mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya dalam tinjauan spiritual.
Saya sangat tersentuh melihat pemandangan seperti ini. Akan tetapi setelah berpikir lebih dalam, sebenarnya Alloh telah mengkaruniakan kepada kita untuk dapat berbuat lebih, dalam arti Alloh telah memberikan kelebihan akal dan kekuatan fisik untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik, dan dengan akal tersebut kita juga mampu membantu dan berusaha memperbaiki keadaan saudara kita yang berada dalam kemiskinan. Salah satu contohnya adalah keadaan ibu pengemis dalam tulisan ini .

Nikmat jasad dan pemaksimalannya


Alloh mengkaruniakan jasmani dan rohani sejak kita dilahirkan. Artinya, sejak umur kita satu hari di dunia ini kita sudah diberikan kemampuan untuk mengolah segala potensi jasmani dan rohani kita. Tentunya sesuai kadar kemampuan penerimaan akal kita terhadap apa yang diterimanya. Terlepas dari kemampuan personal dalam menerima segala pengetahuan dari luar, proses pendidikan dan pengajaran yang diberikan orang tua dan atau lingkungan memberi dampak yang signifikan kepada pembentukan karakter seseorang.
Dua hal ini, yaitu kemampuan personal dan proses pendidikan membentuk sebuah simpul yang mengikat satu dengan lainnya. Tidak bisa dipisahkan antara perkembangan kemampuan personal dengan proses pendidikan yang diterimanya. Semuanya memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter pribadi tersebut. Akan tetapi kadar kemampuan keduanya dalam membentuk pribadi seseorang tidaklah sama.
Suatu ketika kita jumpai kemampuan personal dalam menerima pengajaran dari luar lebih baik ketimbang kualitas pendidikan yang diterimanya. Dalam keadaan yang lain, kemampuan personal tidak lebih baik ketimbang proses pendidikan yang diberikan.
Mana yang harus kita prioritaskan ketika kita tidak mengetahui mana yang lebih dominan di antara dua hal tersebut? Kemampuan personal atau kualitas pendidikan?
Lingkungan keluarga yang merupakan tempat pendidikan terawal dari seorang anak manusia memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan fisik maupun intelektual. Dari beberapa penelitian yang dilakukan para ahli, pendidikan yang diberikan lingkungan keluarga memberi pengaruh hingga 90 % terhadap kepribadian seorang anak.
Pendidikan, atau lebih mudah kita katakan dengan perilaku sehari-hari anggota rumah, menjadi contoh yang benar-benar diperhatikan dan langsung ditiru oleh sang anak. Perilaku yang baik akan menjadi pribadi bagi si kecil tersebut. Begitu juga sebaliknya dengan perilaku buruk anggota keluarga, baik disengaja maupun tidak, akan menjadi bagian dari pribadinya.
Oleh karena itu, kita saat ini yang telah menjadi pribadi-pribadi yang dewasa, hendaknya mampu berpikir jauh ke depan dalam bersikap dan bertingkah laku di depan si kecil. Apakah dia anak dari tetangga kita, anak dari saudara kita, terlebih lagi anak kita sendiri. Kita harus benar-benar menyadari pentingnya pendidikan dan perilaku yang kita berikan terhadap tumbuh kembang sang anak. Meskipun pada kenyataannya saya pribadi masih menemukan banyak orang tua yang kurang peduli terhadap pendidikan dan perilakunya kepada anak usia dini.
Apa hubungan hal ini dengan kisah sang ibu pengemis tersebut? Hasil sebuah proses pendidikan. Saya beranggapan bahwa keadaan ibu pengemis ini dengan keadaannya sekarang –sebagai seorang pengemis- tidaklah jauh dari pendidikan yang diberikan kedua orang tuanya saat sang ibu masih kecil. Dan pendidikan di sini bersumber pada dua keadaan, pertama, pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tua secara langsung, kedua, pendidikan yang diberikan oleh lingkungan pergaulan kepadanya. Dua sumber ini memberikan dampak yang sama kuat terhadap pola kepribadian pribadi tersebut.
Dari aspek orang tua, seorang anak akan sangat banyak meniru sikap kedua orang tua, baik dalam hal ucapan maupun perbuatan. Ucapan yang sering diucapkan orang tua akan sangat mudah ditiru oleh sang anak, begitu juga dengan tingkah laku yang mereka contohkan kepada anak mereka.
Dalam hal perilaku inilah yang lebih banyak memberi warna dalam kepribadian sang anak. Sebagaimana kita ketahui, segala perbuatan pastilah didahului dengan kehendak atau kita kenal dengan motivasi.
Motivasi yang rendah akan menghasilkan perilaku yang kurang bernilai. Begitu juga sebaliknya, jika motivasi yang dimiliki tinggi, perilaku yang dihasilkanpun adalah perilaku yang sangat baik. Dan tentunya motivasi yang tinggi ini menghasilkan prestasi yang jauh lebih baik dari motivasi yang rendah.
Inilah pendidikan yang penting yang seharusnya para pendidikan dan orang tua memperhatinkannya. Pendidikan berupa kekuatan motivasi. Berusaha untuk memiliki motivasi yang tinggi. Sering kali orang tua dan para pendidik hanya berusaha mencapai unsur nilai dan melupakan unsur motivasi ini.
Banyak orang tua mengikutsertakan putra putrinya mengikuti berbagai bimbingan belajar tambahan semata-mata agar putra putrinya menjadi yang terbaik di kelasnya. Dengan bimbingan belajar yang diikuti tersebut sangat mungkin sang anak mencapai apa yang diharapkan orang tuanya, yatiut juara kelas. Akan tetapi ketika tiba masa sang anak merasa jenuh dengan segala pelajaran yang ia terima dari sekolah maupun bimbingan belajar, apakah ia juga mendapatkan cara dari sekolah maupun bimbingan belajar bagaimana menghilangkan kejenuhan itu?
Inilah motivasi. Ketika sang orang tua selalu memberi motivasi positif, motivasi yang tinggi dan kuat untuk menjadi manusia terbaik dan bermanfaat, hal ini akan memberi dampak yang tidak kalah positifnya manakala sang anak nanti menghadapi keadaan yang sangat tertekan. Suatu keadaan yang tidak diperlukan lagi faktor keilmuan, yang dibutuhkan hanyalah motivasi bagaimana untuk bangkit dan menjadi manusia yang bermartabat.
Aspek pendidikan motivasi inilah yang mungkin tidak dimiliki ibu pengemis dari orang tuanya. Tidak ada contoh dari orang tuanya untuk berusaha mencari penghidupan yang lebih baik ketimbang mengemis. Tidak ada perkataan kedua orang tua kepada sang anak untuk selalu berusaha menuntut ilmu dan tidak putus asa dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Tidak ada dorongan dari orang tuanya untuk mengikuti pendidikan gratis atau berusaha untuk mengejar beasiswa yang disediakan di dunia pendidikan.
Ketika tidak ada dorongan, motivasi, atau semangat dari kedua orang tua kepada sang anak… terlebih jika sang anak hanya bergaul di lingkungan keluarga… lantas siapa yang bisa memberi motivasi itu? Tetangga kah? Atau teman sejawatkah? Atau gurukah? Padahal sekolahpun tidak pernah? Lantas siapa?

Ayah ibu ajarkan aku bercita-cita


Saya teringat depan perkataan ibu saya sekitar 5 tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di kelas 2 STM. Saya berkata kepadanya “Ma, aku lulus STM nanti mau masuk ke pesantren ya… Cuma satu tahun… nanti bisa balik lagi dari kerja seperti biasanya.” Ibu saya lantas menjawab dengan tersenyum “Ya terserah… mana yang suka… kalo dipaksakan khan ya nggak bagus…”
Alhamdulillah, ucap saya dalam hati dengan sumringah. Memang, sejak awal masuk STM, saya sudah berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren. Ada beberapa motivasi sehingga saya ingin melanjutkan ke pesantren. Pertama, karena saya ingin merasakan dunia pesantren, ingin menjadi seorang santri. Kedua, pendidikan yang hanya satu tahun memungkinkan saya untuk dapat segera bekerja dengan berbekal pendidikan STM yang saya terima.
Perasaan gembira dan syukur senantiasa terpancar dari hatiku hingga akhir masa pendidikanku. Di akhir masa pendidikanku, aku tetap berkeinginan untuk melanjutkan ke pesantren. Namun begitu aku tetap mencoba mengajukan lamaran pekerjaan ke perusahaan yang membuka lowongan. Beberapa tes pekerjaan kuikuti. Beberapa kali gagal, antara lain tes masuk STAN dan tes PLN. Saya mengikuti pula tes di Trakindo. Alhamdulillah lulus dan tinggal menunggu tes keberangkatan. Namun hingga sekitar 7 bulan saya menunggu tidak ada informasi dari pihak perusahaan tersebut berhubungan dengan rencana keberangkatan.
Dalam waktu yang cukup panjang tersebut, berbagai tes pekerjaan sangat menyibukkan saya. Namun begitu, keinginan saya untuk masuk ke pesantren tetap besar. Hingga saya mengutarakan keinginan tersebut kembali ke ibu saya. Beliau menjawab “Coba aja dulu ngelamar pekerjaan. Sekarang itu cari kerja sulit. Lha kalau sudah kerja nanti mau kuliah bisa masuk ekstensi. Kalau mau ngaji khan nggak harus di pesantren. Kalaupun di pesantren di Malang juga bisa. Tapi kerja aja dulu.”
Saya sedih mendengar pernyataan ibu. Keinginan saya untuk pergi ke pesantren kecil kemungkinannya untuk bisa terealisasi. Saya menyadari sedikit banyak isyarat dari perkataan ibu.
Kini, setelah sekian lama bekerja, tepatnya sudah tiga tahun saya memahami dan menerima apa yang diharapkan ibu dari perkataannya. Sebuah pelajaran tentang motivasi yang ia ajarkan kepada saya. Sebuah motivasi yang bersifat sementara dan sesaat namun dengan efek waktu jangka panjang.
Coba perhatikan sobat, ketika di awal waktu sekolah saya, ia mengatakan persetujuannya kepada saya untuk melanjutkan pendidikan di pesantren. Ini hanyalah upayanya untuk menjaga semangat saya yang masih satu setengah atau dua tahun lagi menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah ini. Sekiranya ibu mengatakan sanggahannya saat itu, mungkin semangat saya untuk belajar putus di situ dan menyebabkan pengaruh negatif untuk pendidikan saya sekitar dua tahun ke depan.
Saya rasa tidak ada kehendak untuk membohongi saya dengan sikapnya seperti itu. Ibu hanya mengucapkan apa yang sekiranya baik untuk masa depan saya berdasarkan pengalamannya. Sekaligus beruapaya untuk menjaga semangat saya dalam belajar hingga saatnya nanti saya memahami sendiri maksud perkataannya.
Semangat seperti inilah yang seharusnya diperhatikan oleh setiap pendidik baik orang tua di rumah atau para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan. Upaya yang tidak semata-mata mencari nilai sebuah ketrampilan guna mencari nafkah darinya, lebih dari itu sebuah upaya untuk menjaga agar kekuatan dan kesabaran dalam menuntut ilmu dari keterampilan tersebut senantiasa membara.

Generasi awal yang memulai

Sudah tampak jelas bagi kita semua arti dari kehadiran orang tua dalam hidup seorang anak. Bagaimana pengaruh pendidikan yang mereka berikan kepada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, sejak dari dini kita sebagai calon generasi pendidik bagi putra-putri harus mempersiapkan dengan berbagai pengetahuan tentangnya.
Ketika kita acuh terhadap urusan pendidikan ini atau terlambat untuk mempersiapkannya, akan tampak dampaknya ketika kita berhadapan dengan putra-putri. Kecanggungan untuk mengajarkan hal yang benar tidak sepenuhnya kita ajarkan. Dapat disebabkan rasa malu kita untuk mengajarkannya. Dan hal ini disebabkan tidak terbiasanya kita untuk mengajarkan sebuah kebenaran. Adapun sebab lainnya bisa karena tidak siapnya kita mengatur waktu antara waktu pribadi dengan waktu untuk mendidik mereka. Jikalau kita melakukannya, niscaya mereka akan mengira bahwa apa yang kita ajarkan adalah sementara atau bahkan hanya senda gurau karena ketidakdisiplinan kita.
Begitu juga dengan ibu pengemis dalam kisah di atas. Generasi awal bertanggung jawab terhadap keadaan generasi saat ini. Memang tidak sepenuhnya tanggung jawab itu dapat dibebankan kepada generasi awal dan menyalahkan mereka disebabkan gagalnya pendidikan yang mereka berikan. Akan tetapi ada pengaruh yang tetap melekat meskipun sedikit dari pribadi generasi awal yang menyebabkan semua yang telah diberikan tidak diterima oleh sang anak.
Maka tidak ada alasan bagi kita melainkan segera membuka diri terhadap segala pendapat maupun ilmu pengetahuan. Mempelajari bagaimana ilmu menjadi orang tua itu penting. Bahkan merupakan hal wajib melihat keadaan sebagaimana kisah di atas. Tidak seharusnya kita beranggapan bahwa mempelajari hal orang tua itu aneh dikarenakan kita masih muda, dan sebaliknya bukanlah hal yang aneh bagi orang tua untuk mempelajari keadaan remaja dikarenakan usia kita yang tidak muda lagi.

Selasa, 16 Maret 2010

Teman Duduk

Ketika teman-teman seumuran mereka saat itu tengah bersenda gurau menikmati makanan dan minuman ringan di tenda-tenda makanan yang berjajar di sepanjang jalan S. Supriadi untuk menghabiskan malam minggu, ia dan beberapa teman yang lain tengah duduk berhalaqah di sebuah masjid membicarakan tema-tema keislaman dari sebuah buku.
Jumlah mereka tidaklah lebih dari lima belas anak. Empat atau lima di antara mereka adalah perempuan, sedangkan sisanya adalah laki-laki. Di antara keduanya dipisahkan selembar kain tabir berwarna hijau gelap.
Begitu heningnya suasana masjid saat itu. Hanya suara dari sang pemateri yang terdengar lantang. Sesekali ada di antara peserta yang memotong pembicaraan untuk sekedar bertanya. Begitu hening.... sobat sekalian bisa membayangkan sendiri bagaimana keadaan sebuah masjid seusai shalat isya’!
Sekarang coba sobat muda pikirkan.... Bagaimana mereka dapat tahan dengan suasana yang sangat hening dan condong kepada kegiatan yang membosankan?! Mereka dapat bertahan di dalamnya, sedangkan teman-teman seusianya sedang menikmati malam panjang dengan musik-musik yang ’menghibur hati’?!
Bagaimana mereka dapat bersabar, hanya duduk mendengarkan petuah-petuah dan kisah-kisah generasi awal dan terbaik dalam sejarah islam...?! padahal teman-teman seusia mereka minimal tengah berleha di atas sofa mendengar dan melihat kisah-kisah sandiwara berselimut noda dari televisi.
Bagaimana mereka dapat rajin menghadirinya, padahal tidak hanya sekali atau dua kali... Melainkan setiap malam minggu. Dan malam ini adalah malam yang menginjak satu setengah tahun kegiatan tersebut.
Siapakah mereka wahai sobat? Merekalah para pemuda dan pemudi yang hati mereka senantiasa tertambat di masjid. Mereka dengan semangat datang semata-mata untuk menjaga dan mempertahankan apa yang telah mereka yakini dari ajaran generasi awal nan terbaik dari umat manusia.
Merekalah pemuda yang memperhatikan kebaikan perilaku dan keikhlasan hati, tentunya perilaku yang baik menurut Islam dan keikhlasan yang benar pula menurutnya, meski dengan seperti itu banyak orang menganggap mereka pemuda yang aneh dan berlebihan dalam beragama.
”Saya rasa jadi remaja itu yang biasa-biasa saja, bebas berkreasi dan tidak perlu terbatasi dengan keadaan seperti itu. Pake jilbab, pake gamis, baju koko.... Itu semua berlebihan. Dan bahkan itu dapat mengganggu psikologinya karena yang mereka lakukan itu tidak sesuai dengan keadaan remaja kebanyakan....” Salah satu komentar seorang bapak terhadap pemuda pemudi tersebut.
Itulah sebagian kecil dari teman-teman kita sobat, yang mana mereka telah diberikan taufiq oleh Allah sehingga mereka dapat berkumpul di masjid untuk sekedar berdiskusi atau hanya mendengar materi yang disajikan.
Semoga kita mampu meneladani mereka, dan penulis berharap Allah memperbanyak jumlah mereka. Memperbanyak jumlah mereka di akhir zaman ini, sehingga mereka mampu hadir di tengah masyarakat yang kebanyakan dari mereka telah menjauh dari Ad-dien yang mulia ini. Menjadikan para pemuda itu laksana lentera di tengah gelap gulitanya malam, serta menjadi air yang mampu melepas dahaga para musafir di sebuah hamparan padang pasir yang gersang. Amiin.

Itsar - Muslim Bukan Individualis

Muslim Bukan Individualis

Oleh: Herdian Rangga Permana

Muqaddimah
Kehidupan bermasyarakat adalah sesuatu yang mutlak dan bersifat fitrah. Antara satu orang dengan lainnya saling membutuhkan dan memenuhi. Akan tetapi, seringkali kita temukan persinggungan dan jarak yang tercipta antara satu orang dengan lainnya dikarenakan adanya perbedaan cara pandang dan langkah dalam menyikapi suatu permasalahan. Dan di antara sebab munculnya perselisihan dalam kehidupan bermasyarakat adalah akhlaq yang buruk.
Banyak orang mempelajari teori-teori tentang norma, etika dan kesopanan dari literatur barat. Padahal Islam telah mengajarkannya dengan begitu lengkap, hanya saja mereka kurang konsen dalam mempelajari Islam. Sehingga yang dikenal dari Islam hanyalah ibadah, fiqh, dan muamalah.

I-tsar (biar tidak keliru itsar), Apakah Itu?
I-tsar adalah Anda mengutamakan saudara muslim lainnya daripada diri sendiri. Memberikan apa yang kita miliki dari harta, atau sikap dan tingkah laku dengan pemberian yang terbaik. Sehingga kita merasakan kebahagiaan dari senyuman orang lain, namun kita sendiri tidak dapat menikmatinya.

Sebuah Teladan Tentang I-tsar
Ketika Kota Mekah, Khaibar dan Thaif dikuasai kaum muslimin, diperoleh ghanimah yang melimpah ruah. Di antara ghanimah itu adalah sekelompok kambing yang berada di antara dua gunung.
Salah seorang arab badui melihat kumpulan kambing itu. Dia merasa suka terhadapnya. Rasulullah yang mengetahui kecintaan arab badui itu kepada kambing-kambing tersebut, lantas memperuntukkan seluruh kambing tersebut kepada arab badui itu.
Lihatlah wahai sobat, di tengah kemiskinan yang menimpa sebagian besar kaum muslimin di Mekah saat itu, termasuk di antara mereka adalah Rasulullah, Beliau tidak memikirkan dirinya sendiri. Bahkan Rasulullah pernah pula mengikat batu di perut lantaran kelaparan. Meskipun jika kambing-kambing itu diperuntukkkan kepada Rasulullah, bukanlah hal yang berlebihan karena Beliau pun saat itu dalam keadaan yang sangat miskin. Di sisi yang lain, Rasulullah pun memiliki kekuasaan untuk mengatur pembagian ghanimah.
Bagaimana kiranya jika hal yang terjadi pada Rasulullah itu menimpa kita?

Tujuan Bersikap I-tsar
I-tsar bertujuan untuk menggapai keridhaan Allah di atas keridhaan manusia. Ridha Allah di atas ridha selainnya. Ridha Allah di atas hawa nafsu.

Tingkatan I-tsar
Berikut adalah tingkatan-tingkatan itsar, di tingkat manakah kita?
1. Menempatkan orang lain seperti seorang pelayan. Kita memberikan sisa-sisa barang yang kita miliki kepadanya.
2. Menempatkan orang lain seperti diri kita sendiri. Apa yang kita ambil, itulah yang kita berikan kepada orang lain.
3. Menempatkan orang lain di atas diri kita. Kita memberikan yang terbaik yang kita miliki kepada orang lain.

Buah-Buah I-tsar
Berikut adalah hasil yang akan kita peroleh manakala kita melakukan i-tsar dengan baik dan benar.
1. I-tsar sebagai penghias akhlaq dan meningkatkan derajat seorang hamba.
2. Memberikan keberkahan dalam hidup.
3. Menjadikan hati pemurah.
4. Terhindar dari sifat iri, dengki, benci dan a-tsarah (kebalikan dari sifat i-tsar, yaitu egois)
5. Menciptakan hubungan persaudaraan yang kuat serta menimbulkan kecintaan di antara kaum muslimin.
6. Membuka pintu-pintu hidayah.

Berilmu Sebelum Beramal
Tentang i-tsar, kiranya dengan ulasan ringkas ini sobat sekalian dapat mengenal apa dan siapa i-tsar itu. Salah satu akhlaq mulia yang sekali-kali tidak kalian dapatkan dalam teori-teori norma dan etika ala barat. Apalagi kalian temukan dalam praktek keseharian orang-orang barat yang senantiasa mengikuti akal pikiran dan hawa nafsu.
Dengan bekal ilmu yang sedikit ini, tunggu apa lagi? Ayo segera amalkan! Sesungguhnya Allah tidak akan menyiakan amal ibadah hambanya sedikit dan sekecil apapun.

Praktek I-tsar
Dalam pelaksanaanya, i-tsar akan lebih mudah kita lakukan jika kita memiliki kepekaan rasa.
Kepekaan rasa terhadap apa yang dirasakan dan dialami orang lain. Dengan adanya kepekaan rasa, kita mampu memberikan sikap yang terbaik kepada orang lain meskipun itu kecil dan sederhana. Karena i-tsar itu tidaklah harus dengan harta. Cukuplah dengan sikap dan perhatian kita, minimal dapat meringankan beban hidupnya.
Di sisi yang lain, i-tsar berupa perhatian kepada orang lain, akan menumbuhkan kecintaan yang erat. Cinta yang tumbuh dan senantiasa terpupuk dalam naungan syariat yang Islam yang mulia.


Sumber: Muslim Bukan Individualis, penerbit: Aqwam, judul asli: Ash-Shobru wadz-Dzauq, karya: Amru Khalid.
Disampaikan dalam Disbuk (Diskusi Buku) Masjid Manarul Islam Sawojajar Malang, 06 Februari 2010.

Air Wudhu Air Laut

Hujan yang turun sore ini begitu deras. Ditambah lagi tiupan angin menambah kerasnya gemuruh titik-titik air hujan yang jatuh di atas atap seng. Namun begitu tetap saja ada sebagian orang yang berada di luar rumah, berada di jalan raya. Entah apa yang sedang mereka usahakan. Dengan segala kepentingan dan urusan masing-masing.

Masih basah alis mata ini dikarenakan bekas air wudhu sholat dhuhur tadi. Yang mana sisa air wudhu lainnya kini telah melalui lubang-lubang pembuangan air di sela-sela bangunan. Mengalir dan terus mengalir. Bertemu dan bercampur dengan jenis-jenis cairan lainnya. Ada yang kotor dan bersih.

Hingga akhirnya berkumpullah semua air dari komplek perumahan itu pada sebuah sungai yang tempat berkumpul akhirnya adalah lautan.

Rosululloh bersabda tentang laut “Laut, suci airnya dan halal bangkainya.” Air selokan yang tadinya didominasi dengan zat-zat yang kotor dan bersifat najis, kini telah menjadi suci ketika mereka berkumpul di sebuah tempat yang bernama lautan. Sungguh inilah rahmat Alloh yang teramat sangat kepada hambanya.
Air laut ini lantas menguap dengan bantuan panas matahari. Jadilah air-air itu sekumpulan awan yang berada di langit. Angin-angin di sekelilingnya terus meniup sehingga membawanya bergeser hingga berada di atas daratan. Salah satunya adalah awan di atas rumah saya saat ini. Awan-awan berwarna kelabu yang terlihat begitu berat dengan beban yang mereka bawa.

Ketika tiba waktunya, maka… hujan inilah yang kita peroleh dari sang awan. Oleh-oleh darinya dari laut. Yang jika kita mau merenungi, air ini adalah air yang tadinya kita gunakan untuk berwudhu. Atau air-air lainnya yang kita gunakan sehari-hari.

Perhatikan saudaraku, bagaimana Alloh dengan mudah menjadikan sesuatu yang awalnya bersih, lantas kotor, lantas menjadi bersih kembali. Seperti itulah kiranya kita. Kita dilahirkan dalam keadaan fitrah, sebagaimana sabda Rosululloh “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia seorang yahudi, atau majusi atau nashrani.”. Seiring perjalanan, tentunya ada dosa-dosa yang kita lakukan.

Maka sebagaimana siklus air di atas, jika laut menjadi tempat pembersih air-air yang sebelumnya kotor, maka istighfar dan taubat menjadikan kita kembali lagi menjadi bersih seperti sedia kala.

Namun, kita memiliki perbedaan dengan air. Perbedaan yang menguntungkan kita- semata-mata dikarenakan rahmat dan rahim Alloh kepada kita. Yaitu, kita tidak perlu menunggu sampai di laut sehingga kotoran-kotoran tersebut dapat hilang dan kembali menjadi suci. Sungguh, ucapan istighfar dapat dengan mudah kita lakukan kapanpun dan di manapun, yang mana dengannya akan berguguran dosa-dosa kita- dengan izin Alloh.

Bagaimana kiranya jika kita sama dengan air… yang harus menunggu hingga tiba di laut? Bagaimana pula kiranya jika kita sebagai air yang telah kotor tidak bisa tiba di lautan? Apakah kita akan terus menjadi air yang kotor?

Tidak! Kita tidak akan menjadi air yang kotor selamanya. Karena kita adalah manusia , bukan air.
Maka… ketika nafas ini masih berhembus… tunggu apa lagi, segeralah beristighfar atas setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan. Semoga Alloh mengampuni semua dosa dan kesalahan kita.

Jika telah menjadi laksana air-air yang bersih, kembalilah untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang di sekeliling kita. Menghilangkan dahaga orang-orang yang haus akan nasihat-nasihat Islami, membantu orang lain mensucikan dirinya dengan menjadi perantara antara dia dengan Alloh, menjadi perantara antara dia dengan ilmu syariat dan sebagainya.

Minggu, 21 Februari 2010

Mengucapkan Salam Hanya Kepada Yang Dikenal Saja

Sore itu sekitar pukul 17.45, lebih kurang sepuluh menit lagi adzan maghrib akan berkumandang. Saya segera mengayuh sepeda ontel menuju masjid yang jaraknya dari rumah sekitar 600 meter. Di tengah perjalanan, saya disalip- dengan akhiran p, bukan b, yang merupakan bahasa jawa yang berarti didahului- oleh seorang jama'ah masjid.

Saya mengetahui dan hafal benar bahwasannya beliau adalah jama'ah masjid tempat biasa saya shalat. Memang saya tidak tahu namanya, namun saya yakin bahwa saya mengenalnya dari perawakan fisiknya dan sebaliknya, beliau juga mengetahui bahwasannya saya adalah pemuda yang biasa shalat berjama'ah di masjid tersebut. Terlebih lagi di kajian kemarin minggu kami duduk bersebelahan.

Namun... sepeda motor beliau berlalu begitu saja... padahal saya yakin bahwasannya beliau mengetahui bahwa yang sedang mengayuh sepeda itu adalah saya. Yang saya sayangkan... tidak ada sapaan hangat berupa ucapan Assalamu'alaikum keluar dari lisannya. Yah, setidaknya ada sapaan "Mas... duluan ya...".

Begitulah fenomena yang terjadi saat ini. Banyak diantara umat muslim yang enggan mengucapkan salam kepada muslim yang lainnya. Mereka hanya mengucapkan salam kepada yang dikenal saja, kepada yang tahu namanya saja. Tidak kepada yang lainnya. Nah, bagaimana syariat Islam memandang permasalahan ini? Mari kita ikuti pembahasan berikut ini. Selamat membaca.

-----

Diantara telah dekatnya hari kiamat ialah akan adanya orang-orang yang hanya mau mengucapkan salam kepada orang yang dikenalnya saja.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat ialah manusia tidak mau mengucapkan salam kepada orang lain kecuali yang dikenalnya saja".[Hadits Riwayat Ahmad. Musnad Ahmad 5:326. Ahmad Syakir berkata 'Isnadnya Shahih'].

Dalam riwayat lain bagi Imam Ahmad dengan lafal:
"Artinya : Sesungguhnya sebelum datangnya hari kiamat pengucapan salam itu hanya untuk orang-orang tertentu saja (yakni yang dikenalnya)". [Musnad Ahmad 5:333. Ahmad Syakir berkata, 'Isnadnya Shahih'. Al-Albani berkata : 'Ini adalah isnad yang shahih menurut syarat Muslim'. Silsilatul Ahaditsish Shahih 2:251. hadits nomor 647].

Kondisi seperti ini dapat kita saksikan pada masa sekarang ini, maka banyak orang yang hanya mau mengucapkan salam kepada orang-orang yang dikenalnya saja. Perilaku seperti ini bertentangan dengan sunnah, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan menyebarkan salam kepada orang yang Anda kenal maupun yang Anda tidak kenal.

Karena hal inilah yang menjadi penyebab tersebarnya rasa kasih sayang dan saling mencintai di antara sesama kaum muslimin. Juga sebagai pemupuk keimanan yang menjadi faktor penentu untuk dapat masuk surga, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasannya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Tidaklah kamu akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan tidaklah kamu beriman sehingga kamu saling mencintai. Tidaklah kamu mau kutunjukkan kepada sesuatu yang apabila kamu lakukan kamu akan saling mencintai ? Yaitu sebarkanlah salam di antara kamu". [Hadits Riwayat Muslim. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Bayan Annahu Laa Yadkhulu Al-Jannata illa Al-Mu'minuun 2:35]

Ditulis oleh: Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil
Disalin dari buku Asyratus Sa'ah. Fasal Tanda-Tanda Kiamat Kecil oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA, edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat hal. 141-142 terbitan Pustaka Mantiq, penerjemah Drs As'ad Yasin dan Drs Zaini Munir Fadholi]

Kedudukan Wanita Dalam Kehidupan

Sesungguhnya wanita muslimah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam dan pengaruh yang begitu besar di dalam kehidupan setiap Muslim. Dialah guru pertama madrasah kehidupan di dalam membangun masyarakat yang shalih jika ia berjalan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena berpegang teguh kepada kedua sumber itu dapat menjauhkan setiap Muslim laki-laki dan wanita dari kesesatan di dalam segala sesuatu.

Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menunjukkan betapa pentingnya kaum wanita sebagai ibu, sebagai istri, sebagai saudara dan sebagai anak. Mereka juga mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfungsi menjelaskan secara detail.

Urgensi atau pentingnya (peran wanita) itu tampak di dalam beban tanggung jawab yang harus diembannya dan perjuangan berat yang harus ia pikul yang pada sebagiannya melebihi beban tanggung jawab yang dipikul kaum pria. Maka dari itu, di antara kewajiban terpenting kita adalah berterima kasih kepada ibu, berbakti kepadanya dan mempergaulinya dengan baik. Dalam hal ini ia harus lebih diutamakan dari pada ayah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada Ku-lah kamu kembali.” [Luqman : 14]

Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Ya Rasulullah, siapa manusia yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik ?” Jawab Nabi, ‘Ibumu’ Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawab beliau, ‘Ibumu’, Ia bertanya lagi, “Lalu siapa lagi ?” Beliau jawab ‘Ayahmu’. [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari]
Makna yang terkandung di dalam hadits ini adalah bahwa ibu harus mendapat 3x (tiga kali) lipat perbuatan baik (dari anaknya) dibandingkan bapak.

Kedudukan istri dan pengaruhnya terhadap jiwa laki-laki telah dijelaskan oleh ayat berikut ini artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” [Ar-Rum : 21]

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya tentang mawadah wa rahmah mengatakan : Mawaddah adalah rasa cinta dan Rahmah adalah rasa kasih sayang, karena sesungguhnya seorang laki-laki hidup bersama istrinya adalah karena cinta kepadanya atau karena kasih dan sayang kepadanya, agar mendapat anak keturunan darinya.

Sesungguhnya ada pelajaran yang sangat berharga dari Khadijah Radhiyallahu anha dimana beliau mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentramkan rasa takut yang dialami Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam ketika Malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa wahyu di goa Hira’ untuk pertama kalinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Khadijah dalam keadaan seluruh persendiannya gemetar, seraya bersabda artinya : “Selimuti aku! Selimuti aku! Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.” Maka Khadijah berkata : “Tidak. Demi Allah, Allah tidak akan membuatmu menjadi hina sama sekali, karena engkau selalu menjalin hubungan silaturahmi, menanggung beban, memberikan bantuan kepada orang yang tak punya, memuliakan tamu dan memberikan pertolongan kepada orang yang berada di pihak yang benar.” [Muttafaq Alaih]

Kita juga tidak lupa peran Aisyah Radhiyallahu ‘anha dimana para tokoh sahabat Nabi banyak mengambil hadits-hadits dari beliau, dan begitu pula kaum wanita banyak belajar kepadanya tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa ibu saya pun rahimahullah, mempunyai peran yang sangat besar dan pengaruh yang sangat dalam di dalam memberikan dorongan kepada saya untuk giat belajar (menuntut ilmu). Semoga Allah melipat gandakan pahalanya dan memberinya balasan yang terbaik atas jasanya kepada saya.

Dan hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa rumah tangga yang dihiasi dengan penuh rasa kasih sayang, rasa cinta, keramahan dan pendidikan yang Islami akan berpengaruh terhadap suami. Ia akan selalu beruntung, dengan izin Allah, di dalam segala urusannya, berhasil di dalam segala usaha yang dilakukannya, baik di dalam menuntut ilmu, perniagaan ataupun pertanian dan lain-lainnya.

Hanya kepada Allah jualah saya memohon agar membimbing kita semua ke jalan yang Dia cintai dan Dia ridhai. Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

[Majmu Fatawa, jilid 3, halaman 348, oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Baz]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 421-424, Darul Haq]

Kearifan Penjual Kue Pukis

Seperti inilah jika shalat yang kita lakukan benar-benar dalam kondisi maksimal. Jika kaum laki-laki melaksanakan shalat berjama'ah tidak hanya sekedar untuk datang menampakkan diri atau sekedar sebagai penggugur kewajiban. Kisah teladan yang merupakan hasil ibadah yang benar. Selamat membaca.

Perlahan tangan kekar itu menuangkan adonan kue ke loyang kue yang beruas-ruas. Setelah rata dan semua ruas terisi, sebelah tangan lainnya mengambil penutup loyang dan meletakan di atasnya rapat-rapat. Beberapa menit kemudian, ia kembali membuka penutupnya dan mulai mengangkat satu persatu kue yang sudah masak dengan pengungkit kecil, satu, dua, tiga dan seterusnya seraya memindahkan kue-kue itu ke tempat khusus yang sudah disediakan.

Di sebelah lelaki itu, seorang perempuan anggun bersanding. Lihai gerak tangannya bermain dengan sebilah capit, seperti sudah terlatih bertahun-tahun menggunakan alat tersebut. Tangan kirinya memegang plastik transparan ukuran setengah kilogram, dengan capit di tangan kanannya ia memasukkan serta menyusun kue-kue ukuran kecil itu. Terakhir, kedua tangannya melipat dan merekatkan ujung plastik dengan stepler. Tumpukan kte pukis yang sudah tersusun rapih itu tinggal menunggu berpindah tangan kepada para pembelinya.

Begitulah setiap sore hingga malam dua pasang tangan lihai bekerja, mulai dari membuat adonan kue, memasaknya, hingga menjualnya. Mereka terlihat akrab, bahkan mesra dalam kadar sewajarnya, sesekali tangan perempuan itu mengambil sehelai lap bersih untuk membasuh peluh di kening lelaki di sisinya. Kadang, si lelaki berganti menggoda makhluk manis di sebelahnya, sekadar untuk memelihara semangat berjualan di antara mereka berdua.

Setiap sore atau malam, sepulang kerja saya melewati sepasang suami isteri yang berjualan kue pukis itu. Ia menetap di sebuah rumah kontrakan kecil di tepi jalan Cinangka, Sawangan, Depok. Di depan kontrakannya itulah mereka menaruh harapan rezekinya, di meja berukuran 1 x 1,5 meter, dan sebuah kompor yang di atasnya terletak loyang kue pukis.

Suatu hari, saya membeli kuenya. Mereka sudah cukup hafal dengan motor yang saya tumpangi, juga cukup familiar dengan kalimat salam pertama yang terucap ketika saya membuka helm.

Ceria, ramah, dan penuh senyum. Itulah wajah keseharian keduanya setiap kali saya singgah.

Malam itu, “Tiga bungkus ya…” satu untuk di rumah, dua bungkus lagi untuk penjaga keamanan di komplek tempat tinggal saya. Saya sering merasa harus berterima kasih kepada banyak orang dalam menjalani kehidupan, tidak terkecuali para penjaga keamanan di komplek. Meski pun hanya sebatas makanan kecil yang kerap saya bawakan setiap kali melewati pintu gerbang.

Tiga bungkus kue di tangan, saya pun menyodorkan selembar uang duapuluh ribuan, sedangkan harga tiga bungkus kue itu sebesar sembilan ribu rupiah. Satu menit, dua menit, sampai lima menit, lelaki penjual kue itu mencari-cari uang seribu rupiah, sementara yang sepuluh ribunya sudah di tangannya. Saya melihat gelagat tak tersedia uang seribu rupiah itu, “Sudah pak, biar saja kembaliannya cukup sepuluh ribu saja.”

Sontak isterinya menjawab, “Wah, nggak bisa. Ini korupsi namanya. Kami tidak mau mengambil hak orang lain”.

“Lho, saya jan ikhlas…” tak mau kalah saya.

“Kalau begitu, terima ini….” Perempuan itu menyodorkan beberapa kue yang telah dimasukkannya ke dalam plastik, kira-kira pas untuk harga seribu rupiah.

Saya kembalikan kue itu, kemudian ia memaksa bahkan menjejalkan kue itu ke dalam plastik di stang motor saya. Lalu saya kembalikan lagi kuenya, “Terima kasih, tapi saya ikhlas. Hanya seribu rupiah kok…”

“Benar ikhlas?” Saya mengangguk, perempuan itu pun menyerah seraya menengok kepada suaminya. Sang suami pun mengangguk.

***

Subhanallah... Seribu rupiah membuat seseorang begitu takut dianggap mengambil hak orang lain. Seribu rupiah begitu mengerikan di mata sepasang penjual kue pukis. Dan meski hanya seribu rupiah, tak mau ia mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Allah telah memberi nasihat langsung melalui penjual kue pukis. Motor pun melaju tenang, namun tak terasa bulir air bening meleleh di sudut mata ini. Astaghfirullahal adziim… (dari penikmat kue pukis)

Parts KM - Sharing community Partsman TSO